Meski sifatnya global, sejumlah studi juga menyoroti tren serupa di Indonesia, khususnya di sektor finansial dan manufaktur. Namun, meskipun kajian mengenai penggunaan AI dalam pengambilan keputusan sudah cukup banyak, penelitian yang secara khusus membahas hilirisasi bahan mentah, diplomasi, dan kerangka hukum terkait masih sangat terbatas.
Kendati manfaatnya jelas, hilirisasi berbasis AI juga dihadapkan pada tantangan. Proses pengolahan mineral seperti nikel membutuhkan teknologi ramah lingkungan untuk meminimalisasi limbah berbahaya. Peningkatan eksploitasi tambang perlu diimbangi dengan regulasi ketat dan penggunaan teknologi yang berkelanjutan.
“Dengan memadukan AI dan regulasi yang kuat, kita dapat memitigasi risiko lingkungan sekaligus memastikan bahwa hilirisasi mineral mendukung pembangunan ekonomi nasional secara inklusif,” tambah Alexander.
Melalui pendekatan multidisiplin yang mengintegrasikan teknologi, hukum, dan bisnis internasional, Indonesia berhasil menciptakan kebijakan hilirisasi yang adaptif terhadap dinamika global. Riset Binus menyatakan bahwa keberhasilan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk tidak hanya menjadi pusat manufaktur global tetapi juga pemimpin dalam pengelolaan sumber daya berbasis teknologi.
“Dengan AI sebagai pendorong utama, hilirisasi mineral Indonesia kini memiliki fondasi yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan global, menarik investasi asing, dan menciptakan lapangan kerja baru. Namun, keberlanjutan kebijakan ini tetap bergantung pada sinergi antara teknologi, kolaborasi pemangku kepentingan, serta kepatuhan terhadap regulasi lingkungan,” pungkas Alexander. (rpi)
Load more