Dosen ASN Kemendiktisaintek di Serikat Pekerja Fisipol UGM Tuntut Pencairan Tukin Tanpa Diskriminasi
- Tim tvOne - Sri Cahyani Putri
Sleman, tvOnenews.com - Seruan mengenai pembayaran tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen ASN masih berlanjut. Kali ini, seruan datang dari Serikat Pekerja Fisipol (SPF) Universitas Gadjah Mada (UGM), yang terdiri dari berbagai elemen pekerja kampus, seperti dosen ASN, dosen tetap non-ASN, tenaga kependidikan dan pekerja kampus yang berstatus kontrak maupun honorer.
Mereka menggelar aksi di Balairung UGM dengan membawa spanduk bertuliskan 'Pejabat Makan Terus Pendidikan Tak Diurus'.
Dalam aksi tersebut, mereka menuntut pemerintah agar mencairkan tukin untuk semua dosen ASN tanpa diskriminasi, termasuk dosen Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).
"Kami mendesak Kemendiktisaintek mencairkan tukin kepada seluruh dosen ASN Kemendiktisaintek tanpa pengecualian kepada kelompok manapun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perpres No 136 Tahun 2018, Permendikbud No 49 Tahun 2020 dan Kepmendikbudristek 447/P/2024," kata Suci Lestari selaku perwakilan aksi, Rabu (12/2/2025).
Menurutnya, pencairan tukin bagi seluruh dosen ASN Kemendiktisaintek merupakan langkah konkret sebagai wujud penghormatan terhadap prinsip kesetaraan dan keadilan bagi seluruh ASN.
Sebab, dalam Undang-undang ASN nomor 5 Tahun 2014 pasal 79 dan 80 mengamanatkan pembayaran tukin untuk ASN termasuk dosen. Aturan teknis Permendikbud No 49/2020 dan Kepmen 447/P/2024.
Saat ini, hanya dosen ASN di satuan kerja dan Badan Layanan Usaha (BLU) non-remunerasi yang mendapatkan tukin. Sementara, dosen PTNBH justru dikecualikan dengan alasan bahwa kampus PTNBH mampu membiayai tukin dosen.
"Ini mencerminkan ketidakadilan bagi tenaga pendidik," ucap Suci.
Ia menilai, dosen PTNBH tetap memiliki kewajiban yang sama dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, namun tidak mendapatkan hak yang setara rekan-rekan mereka di satker dan BLU. Meskipun, dosen PTNBH menerima Insentif Berbasis Kinerja (IBK), tiap PTNBH tidak memiliki kemampuan finansial yang sama untuk membayar remunerasi dosennya dan menghasilkan ketimpangan kesejahteraan antar kampus.
Sehingga, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin hak kesejahteraan seluruh tenaga pendidik tanpa diskriminasi. Lebih lanjut, kebijakan ini bersifat memecah belah.
"Adanya kategorisasi dosen remunerasi dan dosen non-remunerasi menjadi salah satu faktor yang membuat para dosen dan sivitas akademika yang terdampak oleh kategorisasi ini sulit untuk berempati satu dengan yang lain. Juga semakin sulit untuk bersolidaritas. Upaya memecah belah ini akan terus kami lawan dengan bentuk memberikan solidaritas kami kepada dosen-dosen non-remunerasi yang tengah menuntut haknya," ungkapnya.
Di satu sisi, Suci mengatakan bahwa pemerintah menuntut peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing global, tetapi di sisi lain tidak memberikan dukungan finansial yang adil dosen di PTNBH.
Ketimpangan ini semakin memperburuk kondisi akademisi yang terus berjuang di tengah berbagai tantangan struktural.
Selain itu, SPF UGM juga mendesak Kemendiktisaintek menerbitkan aturan yang menjamin akses masyarakat atas pendidikan tinggi dan pemenuhan hak pekerja di sektor tersebut sebagai bagian dari tanggungjawab pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Perguruan tinggi harus menjadi ruang yang terjangkau dan membebaskan, bukan menjadi ladang eksploitasi bagi tenaga pendidik atau semakin mahal bagi mahasiswa.
Juga mendorong solidaritas antara dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa untuk kampus yang adil dan inklusif. (scp/buz)
Load more