Sumatera - Memilukan kondisi seorang Ibu Birgadir J saat ini. Pasalnya, Ibu Brigadir Yoshua, Rosti Simanjuntak sedang sakit hingga tidak bisa tidur, karena mendapat fitnah dan tekanan setelah anaknya tewas ditembak.
Hal itu dibeberkan Civil Society Indonesia, Irma Hutabarat, di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), seperti yang dilansir tvonenews.com, Jumat (19/8/2022). Bahkan, ia juga sebutkan ada saksi kunci atas tewasnya Brigadir J, tetapi saksi tersebut hanya bisa menangis dan tak bisa berbicara.
"Kita ini rakyat Indonesia berhentilah dianggap seperti kera, kepolisian itu adalah aset kita, kejadian ini membuat kita berpikir. Jangan-jangan sering sekali ada TKP-TKP yang dikarang-karang, jangan-jangan banyak penghilangan bukti, obstruction of justice yang dilakukan yang tidak pernah ketahuan sekali ini ketahuan," pungkas Irma.
Selain itu, Irma Hutabarat juga katakan, bahwasanya dari kasus tewasnya Brigadir J, ada dua (2) yang kelihatan. "Pertama, ketidak mampuan untuk melidungi yang lemah untuk mendapatakan keadilan. Kedua hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum," ujarnya.
Jadi, menurutnya dari kejadian ini bisa dilihat dari to see behind the scenes. Sebab skenario-skenario yang lain bisa dilakukan.
"Tadi itu Jhonson bilang, oke Satgas Merah Putih dibubarkan. Tetapi kita rakyat Indonesia tak pernah tahu, seharusnya datang Humas Polri yang terhormat bisa menjelaskan, apa itu Satgas Merah Putih, kapan didirikan, apa tujuannya, siap saja yang di dalamnya, kenapa dibubarkan, kenapa harus ada dan apa hubunganya dengan Ferdy Sambo," katanya.
Jadi, katanya, hal yang transparan seperti itu, tak perlu lagi diulang-ulang dari Presiden Jokowi, kemudian Mahfud MD. Hal ini menurutnya, seolah-olah polisi tidak paham fungsinya apa.
"Ada pendidikan publik dan masyarakat yang sangat amat penting, apa pun instutusi di negeri ini, apabila tidak ada dukungan dari publik dan masyarakat maka tidak jalan, itu yang diabaikan dan dianggap remeh," pungkasnya.
Nah, ia juga tegaskan, jika ingin terbuka dan transparan soal kasus Brigadir J, coba diurut dari awal.
"Kami salahnya di sini, ini yang melakukan Ferdy Sambo, ini yang melakukan ini, urusan pidana nanti urusan pengadilan. Tapi namanya yang transparansi untuk mengedukasi publik, itu tidak ada urusannya jaksa dan hakim," terangnya.
Kalau sekarang ini, ia katakan, bukan orang tua Brigadir Yoshua yang bingung dan bukan orang tua Bharada E yang putusa asah. Sehingga masyarakat Indonesia yang sudah dekat titik nadir kepercayaannya itu semakin berkurang dan berkurang.
"Jika ini tidak disadari, maka akan ada Ferdy Sambo - ferdy sambo yang lain. Lalu bagaimana dengan polisi yang baik, yang merupakan mayoritas tidak punya suara, karena suaranya harus mendengarkan perintah atasan," jelasnya.
"Ada satu lagi yang diingat, atasan polisi itu hukum bukan pangkat di atasnya. Polisi itu bukan meliter tapi gayanya lebih mengerikan daripada meliter dari sekarang ini," sambungnya menuturkan.
Selanjutnya, Irma Hutabarat katakan dirinya sebagai seorang ibu juga merasakan betapa pedihnya perasaan seorang ibu kehilangan anak kemudian difitnah, hingga tidak boleh dibuka petinya, tidak ada lagi sebuah penjelasan alasan anaknya tewas.
"Semua yang dilakukan ini seolah-olah tidak ada lagi rasa kemanusiaan sedikit pun. Semua tadi yang bang Karni bilang, kebohongan apalagi, kebohongan apalagi. Kebohongan itu berlumur darah bang Karni, ada darah dalam kebohongan itu, ada nyawa yang tak bisa lagi dikembalikan," tuturnya.
Jadi, ia sebutkan, dalam kesempatan dan momentum ini, dirinya ingin mengajak seluruh akademisi untuk mereposisi, dan mereformasi.
"Reprositioning, kenapa polisi bisa sampai begini, dikaji, jadi kita menjadi pandai. Tidak adanya pengawasan, kedudukan dalam negera ini yang luar biasa kuatnya sehingga lagi tidak ada lagi pengawasan. Jangan ada lagi yang dibilang, wah ada Kompolnas, itu sama dengan bohong. Itu tidak bisa, kita membuat suatu lembaga sehingga seolah-olah mengawasi sehingga suatu lembaga yang diawasi ini takut dengan yang diawasi, mana bisa begitu," tuturnya.
"Yang namanya polisi itu, di mana mana disayang sama rakyat, kenapa polisi di negeri ini menjadi monster. Kenapa orang menjadi takut, itu yang harus dipikirkan oleh Kapolri dan seluruh jajaran polisi. Itu yang mesti kita jaga, maka ketika polisi tidak mampu mengontrol dan menyimbangi terhadap dirinya, dia memerlukan bantuan dari luar, posisinya tidak lagi seperti sekarang, yang sangat istimewa, tidak ada yang bisa melihat, orang kita nanyak aja tidak dijawab kok. Kita ini punya hak sih untuk nanyak? nggak pernah dijawab," sambungnya mengatakan sambil menjelaskan pres liris soal Ferdy Sambo yang ditahan di Mako Brimob dengan ruangan 1 x 2 meter dan tidak diperbolehkan keluar dari sel tersebut.
"Hanya kera yang bisa percaya itu setelah apa yang terjadi. Jadi, berhentilah menganggap seluruh rakyat Indonesia ini seperti kera. Ini waktu yang baik untuk remedial, untuk memperbaiki, untuk membersih," sambungnya menegaskan. (Aag)
Load more