Dwi Nanto, Manajer Analisis dan Pembelaan Hukum Walhi Jambi, menyampaikan terdapat 904.424 hektare kawasan hidrologi gambut (KHG) dengan 14 titik di Jambi. Namun, sekitar 60 persen lahan itu diduduki perusahaan dengan pengelolaan yang tidak ramah untuk ekosistem gambut.
"Ini budi daya berizin berupa perkebunan sawit dan hutan tanaman industri atau HTI. Kerusakan wilayah gambut itu kebanyakan di wilayah berizin," katanya, saat konferensi pers, Jumat (18/8).
Perusahaan-perusahaan, kata Dwi, membangun kanal untuk merawat perkebunan kelapa sawit dan hutan industri.
Kala musim kemarau, kanal disekat atau dibloking untuk mengatur debit air yang juga menjadi pasokan untuk memadamkan tanaman yang terbakar. Sedangkan saat musim hujan kanal itu berguna mengeluarkan air yang mengendap di lahan gambut agar tidak menggenangi tanaman milik perusahaan. Imbasnya, lahan gambut terutama di luar perusahaan menjadi kering dan mudah terbakar.
"Tata kelola ini kita sebut monopoli air. Adanya ketidakadilan manajemen air sehingga lahan masyarakat kering saat musim kemarau," kata Dwi.
Ia mengatakan bila tinggi muka air di lahan gambut dijaga sesuai PP Nomor 57 Tahun 2016, maka lahan gambut sulit terbakar.
"Kalau wilayah gambut sesuai PP itu yang mana tinggi muka air tanah maksimal 40 sentimeter dan tidak ada pengeringan, lahan gambut akan sulit terbakar. Kanal itu fungsi menggelontorkan atau mengeluarkan air dari lahan gambut sampai 10 meter, sehingga air di dalam gambut terkuras," kata Dwi.
Monopoli air yang dilakukan perusahaan, sudah dirasakan warga Desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Ulu, Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Ahmad Fauzi, salah satu warga Pematang Rahim, mengatakan apa yang dilakukan perusahaan itu mengakibatkan perkebunan warga mudah kering dan rawan terbakar.
"Kalau masuk musim kemarau menjadi cepat sekali kering. Sebaliknya, kalau musim hujan cepat sekali banjir," tuturnya.
Selain pembangunan kanal dan monopoli air, perusahaan juga menanam tumbuhan monokultur, yakni kelapa sawit yang tidak ramah di lahan gambut dan mengakibatkan kekeringan. Kesalahan tata kelola ini menjadi salah satu penyebab karhutla hebat di Jambi pada tahun 2015 dan 2019.
"Itu tata kelola yang buruk. Gambut yang dikeringkan kemudian ditanam perkebunan sawit itu menyebabkan keluarnya karbon dioksida juga," kata Dwi.
Namun, kata Dwi, pemerintah dan aparat penegak hukum hanya fokus pada pelaku pembakaran lahan. Tidak menegakkan hukum pada perusahaan yang memicu karhutla.
"Penegakan hukum yang dilakukan tidak maksimal. Cara pandang pemerintah dan aparat penegak hukum bahwa pembakaran lahan itu dilakukan oleh pihak pembakar. Tidak melihat dari proses lain, yakni pengeringan gambut," kata Dwi.
Load more