Fatahillah, salah satu dari banyak keluarga korban kekerasan aparatur TNI selama masa konflik di Aceh, adalah anak dari Yahya, Kepala Desa setempat yang menjadi korban pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong Bili Aron Glumpang Tiga, Pidie, Aceh. Yahya dituduh membantu gerakan Aceh Merdeka (GAM). Fatahillah mengungkapkan kekecewaannya, "Kami masih memiliki banyak anak-anak korban pelanggaran HAM yang belum terdaftar." Ia menilai pembangunan masjid di lokasi ini akan menguburkan bukti kekerasan aparat negara pada masa konflik Aceh.
Salah satu keluarga korban lainnya adalah Farhan, anak dari Syamsuddin atau Pak Din. Ia menceritakan bahwa orangtuanya diculik pada 24 Desember 1990 pukul 20.30 WIB dan hingga saat ini belum kembali. Farhan mengungkapkan, "Kami sebenarnya tidak berharap bantuan dari Pemerintah RI, namun kami hanya meminta pengakuan terhadap apa yang telah terjadi pada orang tua kami," dengan ekspresi sedih di matanya.
Fatahillah dan Farhan menyampaikan kekecewaannya atas perobohan Rumoh Geudong.
Rumoh Geudong merupakan salah satu lokasi pelanggaran HAM berat di Aceh. Sejak tahun 1989, rumah ini digunakan sebagai pos SATTIS yang merupakan tempat penyiksaan dengan berbagai metode kejam, seperti yang dikonfirmasi oleh KOMNASHAM. Setelah penarikan pasukan TNI dari Aceh pada tahun 1998, rumah ini dibakar dan hanya menyisakan puing-puing tangga, dinding beton, dan sumur. Harapan mereka adalah agar tempat ini tidak lagi digunakan untuk tujuan yang sama.
Menanggapi belum terdatanya sejumlah korban konflik ini, MENKOPOLHUKAM Mahfud MD menyatakan bahwa ini baru tahap awal pendataan dan akan berakhir pada bulan Desember ini. Selain itu, mereka yang belum terdata akan terus didata hingga seluruhnya terdaftar.
Presiden Republik Indonesia menetapkan Rumoh Geudong di Pidie, Aceh, sebagai titik awal penanganan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Nantinya, lokasi ini akan dijadikan Living Park. Kunjungan Presiden RI Jokowi ke kawasan Pidie ini menjadi langkah awal dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi antara tahun 1989 hingga 1998 di Aceh. Menurut Jokowi, ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang sedang di-data secara bertahap di Indonesia, dan langkah awalnya dimulai dari Rumoh Geudong, Pidie, Aceh.
Ketika mengunjungi Rumoh Geudong, Jokowi mengatakan, "Ini adalah langkah awal. Ada 12 peristiwa. Langkah awal dimulai dari Aceh, dari Pidie. Di sini ada tiga peristiwa, yaitu Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Jambo Kupok. Setelah itu, akan dilanjutkan terus. Ini baru langkah awal. Mereka nantinya akan diberikan keterampilan, beasiswa, dan bantuan sosial." Program ini akan terus diperpanjang jika tahap awal belum selesai, dan dilanjutkan pada tahap berikutnya hingga seluruhnya selesai.
Penanganan yang dilakukan oleh pemerintah RI ini telah memunculkan berbagai pendapat di lapangan. Ada yang menyebut bahwa penanganan ini akan menghilangkan bukti-bukti sejarah kekejaman TNI pada masa lalu saat operasi militer di Aceh, seperti yang dikatakan oleh Ketua Komite Peralihan Aceh Luar Negeri, Teuku Emi Syamsumi atau Abu Salam.
Abu Salam sempat pulang ke Aceh dan mengunjungi lokasi Rumoh Geudong untuk melihat perkembangannya secara langsung. Ia menyebutkan, "Niat pemerintah membangun Living Park itu sangat baik, namun jangan membuat rakyat Aceh lalai dengan bangunan ini. Selain itu, pembangunan monumen yang dibuat harus sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Jika tidak, kami akan merusaknya dan menggantinya dengan yang sesuai menggunakan biaya sendiri."
Teuku Emi Syamsumi (Abu Salam) Ketua KPA Luar Negeri.
Pada dasarnya, Rumoh Geudong adalah bangunan tahun 1818 yang dibangun oleh Ampon Raja Lamkuta sebagai rumah ule balang atau hulu balang pada masa penjajahan Belanda. Pada awalnya, rumah ini tidak disebut sebagai Rumoh Geudong. Namun, setelah rumah ini diperbaiki dengan membangun pagar beton dan beberapa bagian di-renovasi menggunakan semen, warga menyebutnya sebagai Geudong, yang berarti bangunan yang megah.
Pada saat konflik Aceh berkecamuk, rumah ini ditinggalkan pemiliknya dan dijadikan tempat tinggal oleh Satuan Tastis atau SATTIS sejak tahun 1989. Warga sekitar mengatakan bahwa pada masa itu mereka sering mendengar suara teriakan orang yang dianiaya setiap harinya di rumah ini. Setelah TNI ditarik dari Aceh pada tahun 1998, Rumoh Geudong dibakar agar tidak ada lagi yang menempatinya.
Sisa puing berupa tangga, sumur, dan dinding beton masih tersisa. Selanjutnya, pemerintah akan membangun Living Park yang terdiri dari bangunan masjid dengan fasilitas lengkap. Sisa bangunan yang menjadi sejarah kelam masyarakat Aceh ini akan dijadikan monumen dengan tujuan agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa mendatang.
(sai/fna)
Load more