Surabaya, Jawa Timur - Putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang mengesahkan tentang nikah beda agama untuk dapat dicatatkan dalam dokumen kependudukan dan catatan sipil, terus menuai kontroversi. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi massa keagamaan terbesar, melalui PWNU Jatim turut bereaksi atas putusan tersebut.
“Terkait dengan nikah beda agama, tentu dalam syariat islam sudah tegas dilarang. Jadi tidak boleh menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Itu konsep Al-Qur’an seperti itu.” terang Wakil Sekretaris PWNU Jatim Hasan Ubaidillah, saat ditemui di kantor PWNU Jatim.
Sementara dalam konsep fiqih, ada pendapat ulama yang membolehkan, namun tentunya dengan syarat tertentu. Dimana seorang lelaki muslim, diperbolehkan menikah dengan kafir, namun wanita tersebut merupakan ahlul kitab secara temurun.
Namun konsep tersebut tidak berlaku di Indoensia, seperti pernikahan Presiden Palestina Yaseer Arafat dengan seorang wanita Kristen Koptik.
“Dalam kitab fatkhul wahab itu dijelaskan, dan tidak diperbolehkan menikah dengan kafiro (perempuan yang kafir) kecuali kafir kitabiyah yang kholisoh, atau kafir kitabiyah yang murni. Tapi itu konteksnya tidak di Indonesia.” tambah Hasan.
Atas putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang mengesahkan pernikahan beda agama ini, PWNU Jatim akan kembali melakukan kajian lebih mendalam, meski sebelumnya sudah ada kajian terkait persoalan tersebut.
“PWNU Jatim, akan membawa persoalan ini kedalam rapat harian,” imbuh Hasan.
NU sebagai organisasi keagamaan, akan memberikan masukan kepada pemerintah, terutama dalam persoalan ini adalah Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, untuk melakukan telaah kembali terhadap putusan hakim tersebut.
“Tentunya sebagai kekuatan civil socity atau ormas keagamaan, akan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah, khususnya di Mahkamah Agung atau ke Komisi Yudisial untuk melakukan kajian atau telaah terhadap putusan hakim tersebut. Jangan-jangan memang ada kelalaian atau ada hal-hal yang melatar belakangi keputusan hakim tersebut.” jelasnya.
Sementara, menyikapi bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan nikah beda agama, UU no 1 tahun 1974 tentang pernikahan, yang tidak mengatur pernikahan beda agama. Wakil sekretaris PWNU ini menyebut, telah diatur secara jelas dalam pasal berikutnya. Bahwa pernikahan harus dilakukan secara seagama.
“Kok tidak diatur, dalam pasal 2 kan jelas sebenarnya, dalam pasal 2 itu dijelaskan, bahwa pernikahan itu seiman atau seagama, itu jelas. Jadi kalau ada argument itu tidak diatur, bacaannya mungkin kurang jelas atau kurang teliti.” pungkas Hasan. (sha/mg4/ree)
Load more