Surabaya, tvOnenews.com - Penggunaan senyawa organik pada proses pelarutan bahan baku obat dapat mencemari lingkungan sekitar. Guna mengatasi permasalahan tersebut, Profesor ke-178 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Dr. Eng Siti Machmudah S.T M.Eng mengembangkan teknologi fluida superkritis sebagai bahan baku obat dengan pengolahan tanaman herbal.
“Selain itu, penggunaan teknologi fluida superkritis juga dapat menjadi solusi pada permasalahan lingkungan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Mach menerangkan, fluida superkritis merupakan suatu senyawa yang telah melebihi titik tekanan kritis dan suhu kritisnya. Fluida yang memiliki sifat gabungan cair dan gas ini memiliki fungsi sebagai pelarut murni atau media untuk proses pemisahan reaksi atau material.
“Fluida superkritis dapat menggantikan pelarut organik dalam proses pemisahan, sehingga hasil yang didapatkan tidak mencemari lingkungan,” tutur Guru Besar Departemen Teknik Kimia ITS tersebut.
Dalam prosesnya, Mach memilih untuk menggunakan karbon dioksida (CO2) superkritis dan air subkritis sebagai senyawa untuk penelitian yang dilakukannya. Kedua fluida tersebut dipilih karena mudah untuk didapatkan, tidak beracun, dan tidak mudah terbakar. Selain itu, penggunaan CO2 ini pun dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang memicu global warming.
Mach melanjutkan, dua senyawa ini digunakan untuk mengekstrak bahan baku obat-obatan dari tanaman herbal. Dalam penelitiannya, CO2 superkritis berfungsi untuk mengekstrak bahan baku obat anti kanker dari tanaman herbal, seperti amigdalin dari biji buah loquat.
“Karbon dioksida superkritis juga bisa digunakan untuk proses mikronisasi bahan baku obat sehingga kemampuan penghantaran obat dalam tubuh dapat meningkat,” tambah perempuan berhijab ini.
Selain amigdalin, dosen yang terlahir di Gresik ini menuturkan, bahwa penggunaan CO2 superkritis ini dapat digunakan untuk bahan baku obat-obatan lainnya. Beberapa diantaranya ialah beta sitosterol, licopen, lutein, beta karoten, astaxanthin, dan senyawa terpenoid. Sedangkan air subkritis dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan bahan baku obat dari tanaman herbal seperti daun kelor dan kumis kucing yang dapat mengontrol tekanan darah dan mengobati peradangan.
Tak hanya untuk bahan baku obat, alumnus program doktoral Kumamoto University Jepang ini, menggagas penggunaan teknologi CO2 superkritis untuk produksi minyak atsiri. Minyak yang biasanya digunakan untuk aromaterapi tersebut dapat dihasilkan dari mengesktrak tanaman yang memiliki kandungan minyak atsiri.
“Dengan CO2 superkritis, kandungan minyak atsiri pada tanaman tidak mengalami perubahan bau, warna, maupun sifat fisik lainnya,” jelas Mach lebih lanjut.
Untuk mengembangkan inovasinya tersebut, perempuan berusia 50 tahun ini akan terus melakukan kerja sama dengan industri farmasi guna mempercepat hilirisasi produk. Direktur Pendidikan ITS ini pun menyebutkan, bahwa pemanfaatan inovasi tersebut dapat dikembangkan lagi tidak hanya pada sektor farmasi, melainkan juga dapat meluas hingga industri makanan dan industri kosmetik. (msi/far)
Load more