Malang, tvOnenews.com - Kematian tragis seorang bocah berusia enam tahun telah mengguncang masyarakat setempat. Terlebih kematian bocah ini diduga karena menjadi korban mal praktik di sebuah rumah sakit terkemuka. Pihak rumah sakit akhirnya buka suara setelah keluarga korban menyerahkan kasus ini kepada pihak berwenang.
Menurut ayah korban bernama Imam Jazuli, setelah disuntik oleh salah satu oknum tenaga kesehatan, kondisi Alvito semakin memburuk, dan ia mengalami kejang-kejang yang tidak dijelaskan dengan jelas oleh tim medis yang merawatnya.
Keluarga korban yang penuh duka telah mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan adanya kemungkinan mal praktik dalam kasus ini, termasuk rekam medis yang menunjukkan kelalaian dalam penanganan pasien, tenaga kerja yang kurang serius menangani pasien dan tidak transparan.
"Sangat sayang kan, kenapa waktu mengambil tindakan, menyuntik anak saya tidak koordinasi terlebih dahulu dengan saya atau mama Alvito," jelas Imam.
Keluarga korban telah memutuskan untuk menyerahkan kasus ini kepada pihak berwenang. Mereka berharap agar lembaga penegak hukum dapat menyelidiki dengan seksama, dan mengambil tindakan yang tepat terhadap semua pihak yang bertanggung jawab atas kematian anak mereka.
"Pihak berwenang diharapkan akan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. Semua pihak berharap bahwa keadilan akan ditegakkan dan tanggung jawab atas kematian Alvito akan dituntut dengan tegas," ungkap Imam.
"Jika terbukti ada mal praktik yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, maka langkah-langkah hukum yang sesuai harus diambil untuk mencegah terulangnya insiden serupa di masa depan," tegas Imam.
Keluarga korban bukan satu-satunya yang berharap kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat dan pihak terkait. Diharapkan bahwa kejadian ini, akan mendorong perubahan positif dalam sistem perawatan kesehatan, serta memperkuat perlindungan hukum bagi pasien yang menjadi korban mal praktik.
Kematian Alvito yang diduga menjadi korban mal praktik merupakan pengingat bagi semua pihak, terkait pentingnya menjunjung tinggi etika, integritas, dan profesionalisme dalam pelayanan kesehatan.
Diharapkan kejadian seperti ini tidak terulang di masa depan, dan setiap pasien mendapatkan perawatan yang layak serta aman dalam upaya untuk mencapai sistem kesehatan yang lebih baik.
Menyusul pemberitaan di beberapa media terkait insiden ini, pihak Rumah Sakit Prasetya Husada akhirnya angkat bicara.
Direktur RS Prasetya Husada, dr Prima Evita saat menggelar konferensi pers, Kamis (22/6) menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sudah sesuai Standart Operasional Prosedur (SOP), baik dalam penangganan dan tindakan yang dilakukan. Itu diketahui setelah melakukan audit internal.
Pihak rumah sakit mengklaim keterangan dari orang tua korban berbeda dengan pihak rumah sakit.
“Rekam medis sudah benar, tidak ada yang salah. Lalu, untuk rekaman CCTV memang di ruang tindakan CCTV tidak ada karena kami rumah sakit terakreditasi. Di ruang tindakan tidak boleh ada CCTV karena menyangkut privasi pasien,” paparnya.
Begitu juga injeksi atau suntikan yang diberikan oleh perawat, menurutnya, sudah sesuai perintah dan seizin dokter.
"Semua seizin dokter, nah apakah injeksi harus izin dahulu ke keluarga? Tidak semua penanganan izin, apalagi keadaan waktu itu cukup genting, butuh tindakan cepat. Apalagi setiap pasien yang mendapat penangganan rumah sakit sudah menyetujui dengan bertanda tangan atau biasa disebut general consent," katanya.
Sementara itu, dokter spesialis anak RS Prasetya Husada, dr. Agung Prasetyo Wibowo mengatakan, jika dirinya masih bimbang penyebab kematian Alvito, pastinya yaitu henti jantung atau ada gangguan irama jantung. Penangganan korban juga dirasa sulit dan membingungkan.
"Kenapa membingungkan, biasanya pasien anak yang keadaannya dehidrasi tidak sadarkan diri. Tapi waktu itu pasien sadar, cuma kaki dan tangannya dingin. Itu yang membuat saya bingung saat ditelepon oleh perawat yang menjaga," katanya.
Karena saat pasien datang, keadaannya sudah lumayan drop karena menurut keluarga dia sulit makan, muntah, dan pusing.
"Sehingga secara SOP, pasien langsung mendapat infus, pemasangan infus cukup sulit, petugas memerlukan waktu sekitar satu jam," katanya.
Setelah itu, petugas melakukan injeksi ke infus pasien sebanyak dua kali yaitu obat mual dan obat lambung sesuai yang dikeluhkan oleh pasien.
"Nah pemberian injeksi atau suntikan ke infus pasien sesuai gejala pasien. Pemberiannya juga tidak serta merta, sudah seizin dokter," tuturnya. (eco/far)
Load more