Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, Pakar Hubungan Internasional : Tragedi Besar bagi Indonesia
- tvOne - sandi irwanto
Surabaya, tvOnenews.com - Polemik penolakan Israel dalam Piala Dunia U-20 yang semula akan digelar di Indonesia masih terus bergulir. Buahnya, Indonesia resmi batal menjadi tuan rumah perhelatan akbar itu. Hal tersebut dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi Indonesia, baik dari aspek olahraga maupun politik luar negeri.
Dosen Departemen Hubungan Internasional Unair, Joko Susanto SIP MSc turut menanggapi polemik tersebut. Menurutnya, batalnya Indonesia sebagai tuan rumah gelaran piala dunia merupakan tragedi besar.
“Saya rasa ini adalah sebuah tragedi besar bagi Indonesia. Tidak hanya dari sisi olahraganya saja, tetapi juga politik luar negeri dan kepentingan nasional,” ujarnya.
Politisasi Bola
Beberapa pihak, khususnya pejabat dan politikus yang menolak beranggapan bahwa penolakan tersebut merupakan bentuk komitmen dalam mendukung kemerdekaan Palestina yang juga menjadi amanat Presiden Soekarno. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa menerima Israel sama halnya dengan mengkhianati Soekarno.
Joko menilai, anggapan itu tidak lagi relevan. “Terlepas kita punya sejarah terkait penolakan itu, tapi saya melihat bahwa di sini yang ada justru kegagapan dalam melihat situasi internasional,” ujarnya.
Pasalnya, situasi politik internasional telah banyak mengalami perubahan. Ia memaparkan, sebelum tahun 1967, Israel adalah sebuah negara yang secara perimbangan kekuatan masih belum teruji, meskipun telah mendapat dukungan dari Amerika. Sementara itu, Liga Arab relatif lebih solid di waktu yang sama.
“Dalam situasi seperti itu (sebelum 1967, red), memberi tekanan pada Israel masih menjadi sesuatu yang secara stabilitas politik memiliki prospek. Akan tetapi, setelah tahun 1967, posisi Israel itu semakin terkonsolidasi, sehingga kemudian dukungan terhadap Palestina ini harus lebih kreatif, tidak melulu sekadar mengulang cara-cara lama,” terang dosen yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Emerging Indonesia Project (EIP) itu.
Dengan demikian, sambungnya, menganggap bahwa Soekarno akan mengambil langkah penolakan serupa dengan hari ini, berarti sama halnya dengan menyangsikan kemampuannya dalam membaca perubahan situasi global.
“Kita tidak bisa berandai-andai ketika misalnya Soekarno masih hidup, apakah ia akan mengambil langkah yang sama atau tidak. Tetapi, setidaknya dengan menganggap Bung Karno akan mengambil langkah yang sama, berarti kita telah meng-underestimate kemampuan Bung Karno dalam membaca perubahan,” tuturnya.
Load more