Bandung Barat, tvonenews.com - Mendengar musik keras untuk mengalihkan suara penyiksaan dalam ruang penyekapan. Tentu hal ini bisa menjadi pengalaman buruk dan tidak menyenangkan bagi siapa saja. Apalagi bagi mereka yang memiliki fonofobia atau ketakutan dengan suara keras atau mungkin musik yang berlebihan, kondisi itu akan membuat rasa panik dan cemas bagi penderitanya.
Seperti yang dirasakan Theodora Mayang (37), satu diantara puluhan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Myanmar, yang diperkerjakan menjadi Scammer atau penipu online.
Kakak ipar Mayang, Valeria Buring menuturkan, bahwa adiknya sering menyaksikan rekan-rekan sesama dari Indonesia disiksa, karena tidak memenuhi target perusahaan untuk mendapatkan korban.
Mereka biasanya mengalihkan suara kekerasan terhadap temannya yang dipukul dan disiksa, dengan memutar musik kencang-kencang agar mereka tidak mendengar penganiayaan tersebut. Walaupun mereka tetap masih bisa mendengarkan.
“Ya ada trauma-traumanya, diantara mereka seperti mimpi buruk kalau mendengar musik atau suara keras, jantungnya selalu berdebar-debar,” ujar Valeria Buring kepada tvonenews.com, Kamis ( 11/05/23).
Pelaku penyiksaan biasanya menggunakan alat setrum, rotan dan pipa untuk menghajar para korban. Maka tidak heran, setelah disiksa tubuh korban menjadi lebam dan memar berwarna biru, hingga berwarna hitam keunguan.
Kondisi trauma itulah menurut Valeria, cukup dirasakan oleh Mayang hingga saat ini. Terutama saat tidur terlelap, adik iparnya selalu bangun tengah malam dan secara spontan seperti merasakan bosnya memanggil-manggil.
“Teriak Mis Mayang, karena mereka tidur tidak boleh sampai terlelap. Sementara itu tidurnya kurang sampai 17 jam, ditambah kelelahan,” tutur Valeria.
Masih menurut Valeria, sejauh ini memang Mayang tidak sampai terkena siksaan seperti lainnya. Biasanya laki-laki yang dipukul dan disetrum.
”Bisa dibilang siksaan Mayang cukup ringan dibandingkan teman-temannya, cuma mungkin frekuensi tidak seperti laki-laki” kata Valeria.
Selanjutnya Valeria berharap, karena para korban sering mengalami siksaan, tentu merasakan trauma mendalam. Namun biasanya, tak semua korban menyadari jika mereka telah mengalami gangguan psikologis atau trauma tersebut.
“Kita berharap dari pemerintah berusaha menangani trauma, apalagi dari pihak keluarga tidak tahu, kondisi Mayangnya separah apa,” pungkasnya.(end/rfi)
Load more