Sukabumi, tvOnenews.com - Andri Sobari (33) alias Emon, warga Kecamatan Baros, Kota Sukabumi dinyatakan bebas bersyarat usai menjalani penahanan di Lapas Kelas I Cirebon.
Melihat hal ini, warga Sukabumi terutama tetangga Emon memberikan tanggapan yang berbeda-beda.
Dari mulai hukuman, tingkah laku usai bersama keluarga, hingga kegiatan sehari-hari di lingkungan warga, dimana Emon tinggal.
Menurutnya kejatahan seksual yang dilakukan Emon sangat melukai hati orang tua yang menjadi korban akibat perbuatannya.
“Saya heran sekali, kok bisa bebas bersyarat ya? sedangkan saya mewakili orang tua yang anaknya menjadi korban sangat sakit hati dengan kelakukannya terhadap para anak kecil. Kemarin aja Herry Wirawan bisa dijatuhi hukuman mati," ujar Hendrik.
Warga lainnya, Ude Ramdhan (40), warga sekaligus teman Emon semasa bekerja menilai, dirinya bersyukur jika Emon bisa keluar dan bisa kembali ke masyarakat.
"Saya pribadi melihat Emon sekarang suka rajin ke masjid, bahkan sering menghabiskan waktunya di masjid," ujarnya.
“Emon sekarang hampir setiap saat saya lihat selalu ada di masjid, saya sendiri sih tidak terlalu tahu banyak aktifitas Emon sekarang, hanya saja setiap saya pergi kerja di istirahat siang, selalu lihat Emon di Mesjid, dan mudah-mudahan saya sebagai temannya supaya Emon bisa kembali ke jalan yang baik saja,” tambah Ude.
Kendati demikian, hampir semua warga yang di temuin tvOnenews.com mengatakan jika warga menerima jika Emon kembali ke masyarakat, meskipun pada awalnya menolak untuk tinggal di kampungnya.
Namun melihat kelakuan Emon yang sudah berubah dan menjalakan aktifitas seperti biasanya, akhirnya warga menerima, hanya saja warga berharap jangan sampai terjadi yang kedua kalinya.
Psikolog Forensik Reza Indragiri Blak-blakan Ingatkan Ini
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel buka suara soal bebasnya Andri Sobari alias Emon pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Sebelumnya Emon pelaku sodomi terhadap 120 anak di Sukabumi, Jawa Barat pada 2014 silam telah bebas dari penjara sejak Februari 2023 dari Lapas Klas I Cirebon.
Lalu apa yang harus kita lakukan jika pelaku kejahatan seksual terhadap anak kembali ke lingkungan masyarakat?
Apakah masyarakat harus resah? Bahkan memaafkan prilaku menyimpang yang telah dilakukannya?
Reza Indragiri mengingatkan masyarakat akan potensi kejahatan seksual terhadap anak ini tetap bisa saja terjadi lagi.
Bahkan anggota Pusat Kajian Asesmen Pemasyarakatan, Politeknik Imigrasi (Poltekip) ini blak-blakan meminta masyarakat untuk menyebarluaskan foto dan ciri-ciri predator seksual anak.
"Sebarluaskan foto dan ciri-ciri predator. Pajang di wilayah yang mungkin akan dia kunjungi," katanya.
Menurutnya dalam waktu 5 tahun, 10-15 persen predator mengulangi perbuatannya.
"Setelah 10 tahun, 20 persen menjadi residivis. Setelah 20 tahun, 30-40 persen memangsa korban lagi," ungkapnya.
Lalu bagaimana jika, predator dikebiri? Apakah masyarakat akan merasa aman?
"Libidonya lebih terkendali. Tapi kemungkinan melakukan aksi kejahatan tetap ada. Itu karena akar kejahatannya bukan di hormon, tapi di otak. Toh dia bisa menjahati pakai jari dan lain-lain," terangnya.
Reza mengakui jika saat ini sulit untuk mengestimasi regenerasi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Hal ini bisa dilihat dari asumsi bahwa dark number kasus semacam ini (kekerasan seksual terhadap anak) tergolong tinggi.
"Artinya, banyak yang tak terlaporkan. Jadi, kita tidak punya basis data untuk meramal," ujarnya.
Indonesia perlu memiliki basis data tentang pelaku dan anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual.
"Basis data pelaku sebaiknya dibikin open access, sehingga masyarakat bisa waspada. Ini bagian dari upaya meningkatkan daya lenting kolektif terhadap bahaya kejahatan seksual," tambahnya.
Meski begitu dari 100 korban, tidak serta-merta semuanya akan menjelma sebagai predator juga.
Karena itulah, kata Reza secara simultan, negara harus punya basis data korban yang bersifat limited access.
"Dimanfaatkan oleh otoritas kesehatan, sosial, pendidikan, hukum untuk terus memonitor dan menangani para korban secara berkelanjutan.
Namun Reza khawatir jika negara tidak setelaten itu. Contohnya saja terjadi pada keluarga terduga teroris yang dipersekusi sampai harus meninggalkan rumah mereka, putus sekolah, dan seterusnya.
"Padahal, tercantum dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan khusus bagi korban kejahatan seksual merupakan kewajiban sekaligus tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya," pungkasnya.(raa/muu)
Load more