UEFA Gelar Pertemuan dengan Aktivis Pro Palestina, Bahas Soal Kemungkinan Ban Israel
- REUTERS/Hannah Mckay
Jakarta, tvOnenews.com - Keikutsertaan Israel di kompetisi internasional kembali menjadi sorotan besar setelah berbagai pihak mendesak UEFA menjatuhkan sanksi tegas. Meski tekanan semakin keras, Israel masih tampil di ajang resmi dan belum tersentuh larangan.
Israel tetap mengikuti rangkaian kualifikasi Piala Dunia meski banyak negara menyuarakan ketidaksetujuan atas partisipasi mereka. Dalam perjalanan babak kualifikasi, mereka hanya mengakhiri fase grup di posisi ketiga bersama Norwegia dan Italia.
Dua negara tersebut diketahui menjadi pihak yang paling vokal menolak keikutsertaan Israel, terutama di tengah situasi konflik Gaza yang kian memanas. Kendati demikian, upaya untuk mengeluarkan Israel masih belum kunjung terjadi.
Desakan agar UEFA meniru langkah terhadap Rusia terus bergema dari berbagai kelompok olahraga internasional. Mereka menginginkan Israel disuspensi sebagaimana Rusia dilarang setelah invasi ke Ukraina.
Tekanan publik melonjak tajam setelah lebih dari 70 atlet dunia, termasuk Paul Pogba dan Hakim Ziyech, menandatangani surat terbuka kepada Presiden UEFA, Aleksander Ceferin. Mereka menuntut larangan resmi karena situasi kemanusiaan yang disebut semakin memburuk.
Situs resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan memuat pernyataan sekelompok pakar yang menggambarkan langkah tersebut sebagai "tanggapan yang diperlukan untuk mengatasi genosida yang sedang berlangsung di wilayah Palestina yang diduduki". Pernyataan itu langsung memantik reaksi luas di dunia sepak bola.
Pelatih Manchester City, Pep Guardiola, ikut angkat suara dan menyebut bahwa Palestina telah "ditinggalkan" setelah "pembantaian" di Gaza. Komentar ini menambah berat tekanan moral terhadap UEFA.
UEFA sebenarnya telah menyiapkan agenda pemungutan suara terkait kemungkinan pelarangan Israel pada pertemuan komite eksekutif akhir September lalu. Namun proses tersebut terhenti setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan proposal perdamaian yang menghasilkan gencatan senjata.
Laporan investigatif The Athletic kemudian mengungkap fakta mengejutkan mengenai dinamika internal UEFA. Mereka mengungkap bahwa para petinggi UEFA telah mengadakan pertemuan langsung dengan kelompok pro-Palestina bernama ‘Kampanye Game Over Israel’.
Kelompok itu digambarkan sebagai "koalisi orang-orang biasa" berisi aktivis, penggemar sepak bola, hingga pekerja kemanusiaan. Pertemuan berlangsung sebelum dan sesudah gencatan senjata dan membahas "mekanisme di mana larangan dapat ditegakkan".
Dalam salah satu diskusi, UEFA meminta para aktivis untuk mengumpulkan rekomendasi serta "wawasan dari para ahli hak asasi manusia". Hal tersebut dianggap sebagai indikasi bahwa UEFA mulai membuka ruang untuk kemungkinan penangguhan.
Meski begitu, laporan tersebut menegaskan bahwa keputusan untuk menangguhkan Israel melalui pemungutan suara "saat ini tidak mungkin". Namun UEFA disebut tengah mengikuti dengan cermat dua tantangan hukum internasional yang sedang berjalan.
Salah satu tekanan hukum datang dari Republik Irlandia melalui Asosiasi Sepak Bola Irlandia (FAI). Mereka telah mengesahkan mosi agar Israel dikeluarkan dari seluruh kompetisi resmi UEFA.
Tantangan lain muncul di Swiss dan berpotensi memaksa UEFA menindak berdasarkan aturan internasional. Jika kedua proses itu berjalan mulus, langkah penangguhan bisa menjadi opsi yang tak terhindarkan.
Presiden UEFA Aleksander Ceferin sendiri mengaku tidak mendukung pelarangan atlet, namun ia turut menunjukkan kepedulian terhadap dampak perang. Ia mengatakan bahwa "apa yang terjadi dengan warga sipil di sana secara pribadi menyakiti, membunuh saya."
Laporan itu juga menyinggung bahwa Ceferin "secara pribadi mendorong" pemasangan spanduk Piala Super bertuliskan: "Hentikan pembunuhan anak-anak; Hentikan pembunuhan warga sipil". Dua anak dari Gaza bahkan diundang dalam prosesi pembagian medali.
Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 70.000 warga Palestina tewas sejak serangan Hamas pada Oktober 2023. (fan)
Load more