Narasi Oplosan dan Korupsi Kuadriliun: Membaca Ulang Followership Publik, Citra Pertamina, dan Pembuktian Kerugian Negara dalam Kasus Tata Kelola Migas
- Istimewa
Oleh: Muhsin Budiono Nurhadi (Pakar Followership Indonesia; Kepala Bidang Hubungan Antar-Inter Lembaga, Media dan Komunikasi - FSPPB)
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola migas yang melibatkan PT Pertamina telah menjadi sorotan utama sejak awal tahun ini. Namun, seiring bergulirnya persidangan perdana pada 9 Oktober 2025 lalu, terdapat kebenaran pahit yang terkuak: kerugian terbesar yang dialami Pertamina justru datang dari kehancuran citra yang disebabkan oleh narasi publik yang tidak akurat.
Klarifikasi terbaru otoritas penegak hukum —bahwa istilah "BBM Oplosan" dan klaim kerugian hingga "Rp1 Kuadriliun" secara implisit maupun eksplisit tidak terdapat dalam dakwaan resmi Jaksa Penuntut Umum (JPU)— telah menyingkap ironi serius.
Komunikasi awal dari beberapa pernyataan publik yang belum lengkap penjelasannya, ditambah tersebarnya berita secara masif di mass media, telah sukses menancapkan stigma negatif Pertamina di mata konsumen dan publik luas, meski inti masalahnya adalah dugaan korupsi di tingkat kebijakan dan pengadaan minyak impor. Bukan pada kualitas BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Sebab kualitas BBM di seluruh SPBU Pertamina telah sesuai standar spesifikasi teknis Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas), Kementerian ESDM dan diawasi pendistribusiannya (oleh BPH Migas) serta kualitasnya oleh Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas).
KKN VS. KPN: REPETISI POLA KASUS KORUPSI TATA KELOLA TIMAH
Analisis kritis yang membedakan Kerugian Keuangan Negara (KKN) dan Kerugian Perekonomian Negara (KPN) kini terbukti menjadi inti perdebatan hukum di pengadilan kasus korupsi tata kelola migas. Sebenarnya pola ini sudah pernah terjadi sebelumnya di kasus lain.
Pada kasus korupsi timah dengan tuduhan kerugian (di publik) Rp300 Triliun yang sempat menghebohkan publik di 2024 lalu, porsi terbesar kerugian negara adalah KPN yang dinyatakan sebanyak Rp271,07 Triliun (dari kerusakan lingkungan). Sementara itu, KKN riilnya—yakni kerugian finansial langsung dari mark-up sewa smelter dan pembelian bijih ilegal—dinyatakan "hanya" mencapai Rp28,93 Triliun.
Pola serupa diduga kuat akan terulang di kasus tata kelola migas yang saat ini memasuki masa persidangan. KKN riil dari penyimpangan pengadaan, mark-up biaya impor, dan fee perantara ilegal diduga tak sebesar yang beredar di ruang dengar masyarakat (Rp 1 kuadriliun). Namun, angka fantastis yang mendominasi total dakwaan adalah berupa KPN yang diperkirakan dapat mencapai Rp172 triliun (dari fiscal loss beban subsidi/kompensasi).
Pada sidang eksepsi yang digelar pada Kamis, 16 Oktober 2025, tim penasihat hukum terdakwa Riva Siahaan Cs mempertanyakan angka KPN ini. Argumennya bahwa kerugian korupsi (bila terbukti) seharusnya hanya berupa selisih mark-up harga, bukan total beban fiskal tersebut yang notabene sebagian besar telah mengalir kepada masyarakat sebagai manfaat subsidi/kompensasi.
OPLOSAN DAN KORUPSI KUADRILIUN: PSIKOLOGI MASSA TANPA TABAYUN
Kita beranjak sejenak ke soalan persepsi publik yang sejak awal "mewarnai" kasus korupsi tata kelola migas ini. Tak tanggung-tanggung warnanya hitam pekat. Akibat narasi "BBM oplosan" dan "Korupsi kuadriliun".
Mengapa "oplosan dan kuadriliun" begitu mudah memicu emosi dan cepat diterima publik?.
Secara psikologis, masyarakat dalam kondisi ketidakpastian tinggi cenderung mengalami yang disebut Confirmation bias dan Emotional Resonance Effect.
Confirmation bias merupakan kecenderungan psikologis yang menjelaskan mengapa sebuah informasi mudah mengakar di masyarakat.
Bias ini membuat seseorang secara tak sadar cenderung mencari, menafsirkan, memilih, dan mengingat informasi yang hanya mendukung atau mengonfirmasi keyakinan, hipotesis, atau nilai-nilai yang sudah mereka pegang (Wason, 1960).
Dalam buku "Thinking, Fast and Slow", Kahneman (2011) menyatakan bahwa bias konfirmasi merupakan bagian integral dari sistem berpikir cepat manusia. Pikiran manusia lazimnya mencari konfirmasi untuk menghemat energi kognitif, sehingga cenderung menghindari informasi yang kompleks atau bertentangan.
Di kasus dugaan korupsi Pertamina, bila seseorang telah memiliki keyakinan dasar dan pandangan awal bahwa Pertamina rentan terhadap korupsi, maka narasi "oplosan" dan "kerugian kuadriliun" akan lebih mudah diterima sebagai kebenaran.
Pikiran akan secara otomatis memprioritaskan info/hal-hal yang menguatkan prasangka tersebut dan cenderung mengabaikan klarifikasi atau bukti apapun yang bersifat rasional maupun berbasis legal hukum.
Adapun Emotional Resonance Effect menjelaskan mengapa suatu pesan atau narasi dapat mulus diterima dan disebarluaskan, yakni sebab memiliki kaitan erat (beresonansi) dengan kondisi psikologis, emosional, atau pengalaman kolektif yang dialami masyarakat.
Pesan yang membangkitkan emosi kuat, seperti amarah, frustrasi, atau dendam—sebagaimana narasi "BBM oplosan" yang menipu rakyat—akan jauh lebih menarik perhatian, mudah dipercaya, dan cepat menyebar dibanding pesan lain yang lebih logis.
Pada konteks kasus Pertamina, narasi yang menyerang elit atau Pemerintah (Pertamina bagian dari Pemerintah) dan mengklaim adanya kerugian masif dapat memvalidasi rasa frustrasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi serta ketidakadilan sosial.
Konsep ini erat kaitannya dengan Penularan Emosi (Emotional Contagion) dalam psikologi massa. Studi klasik tentang perilaku kelompok oleh Le Bon (1895) dalam tulisan "The Crowd: A Study of Popular Mind" menunjukkan bagaimana emosi yang intens mendominasi logika rasional dalam perilaku kolektif.
Dengan begitu, ketika emosi tersulut, maka narasi yang paling memicu sentimen —bukan yang paling akurat—lah yang mendominasi ruang publik. Ini menjelaskan mengapa tuduhan "Oplosan dan Korupsi Kuadriliun" memiliki kekuatan defamasi yang masif dan bertahan lama. Sukses merongrong brand image Pertamax serta citra Pertamina, sebagaimana tercatat di berbagai pemberitaan media sepanjang periode Maret–Mei 2025.
Narasi miring lain seperti Pertamina tiap tahun selalu merugi misalnya, akan mudah terpatahkan bila logika rasional mendominasi perilaku kolektif dengan mengetahui informasi data kontribusi Pertamina terhadap APBN (dividen, pajak, PNBP) dimana rata-rata pertahunnya mencapai diatas Rp 200 triliun.
Peran strategis Pertamina dalam mendistribusikan BBM subsidi kepada masyarakat luas dan menjaga stabilitas harga energi nasional sangatlah penting didalami oleh pemikiran kolektif publik agar berbagai simpul masyarakat memahami bahwa tuduhan sembarangan tak hanya merusak citra, namun juga berpotensi mengancam kepercayaan investor/stake holder dan keberlanjutan pelayanan energi nasional.
KEBEBASAN NETIZEN DAN TANGGUNGJAWAB FOLLOWERSHIP
Emotional Contagion dalam narasi "oplosan" dan "kuadriliun" memicu rasa frustrasi, ketidakadilan, dan kemarahan terhadap elit (anti-elitism). Emosi negatif ini menyebar cepat (contagious) di masyarakat dan netizen sebagai pelaku aktif media sosial (medsos).
Netizen merupakan bagian dari konsep holistik followership atas sebuah status relasi tertentu, diantaranya seperti leaders & followers, penyanjung & yang disanjung, tokoh idola & fans, atau pemimpin & pengikut. Netizen yang tak memahami konsep followership akan lebih mudah terperangkap dalam arus emotional contagion yang membuat penalaran rasional menjadi tumpul. Terlepas dari adanya hasutan para buzzer dan influencer bayaran.
Dalam konteks dinamika hubungan publik, terdapat teori followership masyhur yaitu "Courageous Followers" oleh Ira Chaleff (1992). Chaleff menjelaskan bahwa followers memiliki kewajiban moral dan intelektual dalam menjalankan perannya. Salah satu kewajiban tersebut meliputi courage to challenge (keberanian untuk mengkritisi, bukan sekadar ikut arus) dan courage to take a moral action (bertanggung jawab, tak mudah terprovokasi, serta berani meluruskan hal/sesuatu yang tak benar).
Netizen yang memiliki pandangan followership yang baik dan efektif seyogyanya menggunakan keberanian ini untuk memverifikasi informasi atau memvalidasi berita yang didapat.
Dari beberapa fenomena diatas, kebebasan bermedsos sejatinya menuntut tanggung jawab followership yang tinggi. Masyarakat dan warganet harus bergeser dari peran followers pasif menjadi followers kritis dan bertanggung jawab. Ini termasuk menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, dan membiasakan diri melakukan crosscheck serta memverifikasi informasi sebelum menghakimi sesuatu.
Followers sejati bukan tunduk pada viralitas, namun pada kebenaran. Publik yang berani tabayun adalah bentuk menjaga kepemimpinan moral bangsa.
PEMBUKTIAN PERSIDANGAN: MENS REA DAN LOGIKA ANGKA
Perkara korupsi Tata Kelola Migas saat ini bukan lagi sekadar pertanyaan "apakah terdapat korupsi?". Fokus perhatian masyarakat setidaknya telah beralih kepada dua hal. Yang pertama, Niat Jahat atau Mens Rea. Bisakah otoritas penegak hukum membuktikan bahwa tindakan terdakwa murni mengandung niat jahat dan perbuatan melawan hukum yang disengaja?. Tim pembela terdakwa tentunya akan berargumen bahwa tindakan kliennya merupakan eksekusi business judgment. Atau barangkali masuk kategori kesalahan administratif dan kelalaian dalam menjalankan wewenang jabatan. Ini bakal menjadi penentu apakah unsur pidana korupsi terpenuhi atau tidak.
Kedua, metode penentuan kerugian (Logika Angka). Ini merupakan perdebatan metodologi dalam membuktikan kerugian negara yang sebenarnya. Otoritas terkait harus meyakinkan Majelis Hakim bahwa angka KPN sebesar Rp172 T (atau boleh jadi lebih besar/kecil) adalah kerugian yang valid. Pengadilan akan menentukan apakah nilai tersebut merupakan kerugian uang tunai yang harus dibayar oleh terdakwa (Uang Pengganti), ataukah sebagian besar merupakan beban kebijakan maupun potensi kerugian ekonomi yang tak dapat dibebankan sepenuhnya sebagai hasil kejahatan korupsi.
Terlepas dari itu semua, pemikiran kritis bahwa kerugian korupsi riil jauh lebih kecil daripada angka dakwaan yang fantastis terbukti telah menjadi inti perdebatan hukum di pengadilan korupsi tata kelola migas.
Bagaimanapun citra Pertamina sebagai perusahaan negara penyokong utama kebutuhan energi negeri telah tercoreng dan dirugikan secara publik.
Dan kini, nasib kejelasan besaran angka korupsi serta vonis hukuman bergantung pada bagaimana Majelis Hakim menilai secara tepat metodologi penghitungan Kerugian Perekonomian Negara (KPN) tersebut.
Tulisan ini tak dimaksudkan untuk memengaruhi proses hukum yang sedang berjalan. Analisis disampaikan sebagai bentuk literasi publik atas dinamika pemberitaan dan persepsi sosial yang terjadi.
Bagi kami di Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), kehormatan Pertamina bukan sekadar reputasi korporasi, melainkan marwah bangsa dalam menjaga kedaulatan energi nasional. Karenanya, setiap narasi publik harus berangkat dari data yang benar, bukan dari sensasi.*
Load more