Purna Tugas Menjadi Jurnalis tvOne
- Istimewa
SAYA pernah membayangkan, menjadi jurnalis televisi adalah ladang pengabdian saya terakhir di dunia jurnalisme. Sebagian besar waktu saya dalam satu dekade terakhir memang dihabiskan mengurus berbagai hal seputar pengelolaan dan produksi berita di layar kaca. Saya menikmati jatuh bangunnya televisi sejak mulai diperkenalkan sebagai media baru untuk mewartakan peristiwa, hingga kini, yang secara bisnis televisi disebut-sebut ada di ujung senjakalanya.
Jadi bayangkan betapa beratnya ketika saya pada akhirnya harus memutuskan undur diri dari dunia yang membesarkan karir jurnalistik saya. Iya, terhitung sejak 1 Agustus 2025 dengan berat hati saya resmi mengundurkan diri dari PT Lativi Media Karya - tvOne, perusahaan yang menaungi televisi berita tvOne.
Saya memang tidak pergi terlampau jauh, selanjutnya saya harus menakhodai produk jurnalisme digital dan tvOnenews.com, situs berita yang saya dan beberapa rekan dirikan sejak awal dan kini sudah dikembangkan menjadi sebuah kapal baru yang "mumpuni" secara bisnis dan "berwibawa" secara pemberitaan.
Bagaimanapun, televisi telah mengambil begitu dalam cinta saya. Masih terbayang oleh saya, wartawan dari daerah ini, memandang jurnalis televisi yang hidupnya gemebyar. Dandannya jauh dari kata kucel seperti khas wartawan lapangan (biasanya wartawan teve berseragam, berjas atau berdasi), pergi ke manapun diantar mobil liputan, selalu ditunggu pejabat setiap akan jumpa pers.
Setiap tayangan beritanya bikin dag dig dug penguasa, berdampak tak hanya karena rating, tapi juga bisa "menguliti" kebijakan pemerintah alias sebagai watchdog.
Dengan latar itu, tak heran ketika pada akhirnya saya tercebur ke “kolam besar” itu dan diterima menjadi jurnalis teve di SCTV pada 2004 silam, dan saya begitu menikmatinya. Saat itu saya asyik masyuk terus menerus berada di lapangan membongkar berbagai skandal dan kejahatan dengan jurnalisme investigatif yang kebetulan tengah marak-maraknya di televisi. Saya keluar masuk hutan di Sumatera, Kalimantan, Papua meliput sindikat pembalak liar. Saya blusukan membongkar mafia obat palsu yang sangat membahayakan kesehatan warga untuk program liputan investigasi Sigi 30 Menit SCTV.
Namun, sesungguhnya tvOne-lah yang menumbuhlebatkan naluri kewartawanan saya. Di media ini, saya berguru pada salah satu wartawan hukum terbaik: Karni Ilyas. Selain soal etika jurnalisme, dari Pak KI saya belajar bagaimana seorang wartawan mesti membangun jaringan dan dapat menembus sumber-sumber eksklusif.
- Istimewa
Saya memang datang dengan momentum yang tepat, saat stasiun televisi tengah berubah format dari media hiburan semata ke teve news.
Profesi jurnalis jadi bernilai ketika memiliki jaringan luas dan daya tembus tinggi. Ia punya istilah untuk wartawan yang betah ngendon di kantor: “wartawan belah pantat”. Nyatanya itu ia buktikan di sepanjang karirnya. Ia ikut blasak-blusuk melaporkan peristiwa langsung dari lapangan, di tengah penggerebekan teroris, di antara desing peluru, saya menyaksikan Pak KI terus melaporkan peristiwa.
Saya memang datang dengan momentum yang tepat, saat stasiun televisi tengah berubah format dari media hiburan semata ke teve news. Di sini saya belajar produksi berita mulai dari dasar, saya merencanakan tema, menyusun rencana liputan, membuat outline, menghubungi narasumber, mereportase, menulis naskah berita hingga mendampingi editing. Saya belajar mendesain produksi program berita investigatif mendalam gaya majalah (news magazine).
Masa itu, sejumlah liputan eksklusif semacam penggerebekan teroris di Temanggung, Eksekusi Mati Trio Bom Bali, ledakan demi ledakan bom di kasus terorisme, Sindikat Narkoba Fredy Budiman, tersaji begitu kuat dan diminati publik tanah air.
Hingga kini saya tetap merasa tvOne adalah almamater terbaik saya. Saya hampir pernah mengurus segala hal berkait dengan operasional stasiun televisi, dari program sampai frekuensi, dari ob van sampai satelit, dari peliputan hingga produksi.
Bersama tvOne, saya merasakan masa keemasan stasiun televisi berita. Berita kami berdampak secara pengaruh, maupun secara bisnis. Hasilnya pengiklan mengalir deras, pendapatan perusahaan meningkat tajam dan pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan karyawan.
Namun, tak ada yang abadi di kolong bumi. Seiring dengan pertumbuhan akses internet yang begitu pesat dan munculnya smartphone yang memudahkan konsumsi berita secara real-time, perlahan lanskap industri ini berkembang lebih cepat dari yang dibayangkan.
Dahulu pemirsa harus menonton teve di jam-jam tertentu untuk mendapatkan berita, kini berita tersedia on-demand, kapan pun dan di mana pun, lewat gawai dan media sosial. Bahkan audiens kini tidak hanya sebagai konsumen berita, tetapi juga sebagai distributor (melalui share) dan produsen (user-generated content). Ini menciptakan era partisipasi dan kecepatan yang tak dimiliki media konvensional.
Yang paling memukul adalah media digital, ia mampu melacak perilaku pengguna dan menawarkan konten serta iklan yang disesuaikan, sesuatu yang sulit dilakukan media cetak atau televisi konvensional. Dengan biaya lebih murah, namun bisa mengukur dan menargetkan pemirsa dengan lebih spesifik, perusahaan akhirnya lebih memilih beriklan di platform digital, seperti Google, Facebook atau Instagram.
Dengan perlahan media konvensional memasuki periode senjakala. Dengan perilaku pengiklan yang berubah drastis, beban operasional yang sangat tinggi, dan kegagalan menangkap pesan dari zaman yang tengah bertransformasi, tak sedikit media yang akhirnya berguguran.
Namun, seperti layaknya pemain sepak bola di liga profesional, klub boleh bangkrut, namun pemain dan sepak bola sebagai hal yang “fitrah” dan dibutuhkan orang banyak akan tetap bertahan. Yang ditinggalkan hanya wadah dan cara distribusinya, jurnalisme dan wartawan tetap akan bertahan dengan platform yang berbeda.
Dan kini saya menyaksikan media menjadi semakin kecil, namun solid, lincah, cepat dan mendalam. Banyak jurnalis kini menjadi freelancer, membangun newsletter pribadi, blog, atau bergabung dengan platform jurnalisme independen seperti Substack atau Medium.
Saya memilih terus mengaktualisasi diri, beradaptasi dengan zaman yang berubah. Kini setiap jurnalis adalah manusia pembelajar, harus paham SEO (Search Engine Optimization), analytics dan berbagai platform distribusi konten. Selain itu, tak bisa tidak, konten berita juga harus dinamis dan visual.
Demikian, setelah pamit dari tvOne, saya memilih tetap akan berenang di samudera bisnis informasi. Dan jika saya ditanya, “Mengapa masih menjadi jurnalis ketika banyak media runtuh?”, saya akan menjawab:
“Karena dunia tetap membutuhkan orang yang berani melihat, mendengar, dan mencatat kenyataan — apa pun medianya.”
(Ecep Suwardaniyasa / Pemimpin Redaksi tvOnenews.com)
Load more