Onerun10K dan Cara Membaca Kota
- istimewa
(Catatan Ecep Suwardaniyasa, Pemimpin Redaksi tvOnenews.com)
BAGAIMANA mendefinisikan sebuah kota yang baik? Jika pertanyaan ini diajukan pada Kevin Lynch, maka jawabnya jelas: kota yang terbaca. Lynch, seorang perencana kota dari Amerika Serikat, jauh-jauh hari, tepatnya pada 1984 menulis babon di kajian urban studies berjudul “Good City Form”.
Untuk mendefinisikan kota yang "baik", ujar Lynch, lingkungan kota harus mudah dipahami, dimaknai, dan dirasakan secara masuk akal oleh orang-orang yang menggunakannya. Bagaimana caranya?
Jawabnya, kota sebanyak mungkin harus memberikan pengalaman yang sifatnya panca indera. Jika sebuah kota terbaca dengan seluruh panca indera, maka semakin mudah kota itu akan masuk dalam kenangan warga.
Singapura misalnya sibuk mengenalkan kota dengan aroma yang tertangkap hidung. Berjalan di kawasan Joo Chiat dan Katong di Singapura, kita akan tersergap oleh aroma rempah yang kuat. Berbagai restoran peranakan, Melayu dan Arab di kanan dan kiri jalan menghidangkan makanan yang kaya aroma rempah. Dari laksa sampai popiah, dari bak chang sampai nasi lemak.
- istimewa
Jakarta tentu tak kalah. Kita punya kawasan kuliner nasi Kapau di perempatan Senen atau makanan Arab di Cikini. Jakarta punya landmark, tanda kota yang dibangun Soekarno hingga Anies Baswedan. Ada pusat perbelanjaan pertama yang pernah paling megah di Asia Tanggara, Sarinah. Kawasan Bunderan HI yang dibangun Soekarno untuk dipamerkan ke tamu tamu negara pada Konferensi Asia Afrika yang menggambarkan sepuluh tahun Indonesia merdeka sudah memiliki hotel mewah setara dengan Amerika Serikat. Anies Baswedan, menciptakan halte halte transjakarta yang ikonik, berbentuk perahu, berbentuk bangunan minimalis yang indah untuk menghias Jakarta.
Persoalannya bagaimana merasakan itu semua? Bagi saya, pilihannya dengan berlari. Gerak lari yang tidak terlampau cepat, membuat kita bisa menikmati dan membaca kota seutuhnya. Joging di tengah kota masih memungkinkan kita menikmati arsitektur dan mencium aroma kota. Karena itulah, saya sangat gemar lari di ruang-ruang baru, hanya demi mengenal kotanya.
Nah, perasaan menikmati kota saya dapatkan lagi ketika pekan lalu saya berlari dan ribuan pelari bergembira ria sejauh 10 kilometer di jalan raya Kuningan, dalam ajang Onerun10K.
Tiga kali sejak 2023, saya menjadi ketua penyelenggara acara ini, dan dua kali ikut berlari bersama peserta. Jadi, setelah memberi sambutan di podium dan melepas pelari dengan melambaikan bendera, saya segera turun dan bergabung dengan keriuhan pelari. Saya selalu ingin mereguk ruang kota dengan berlari.
Saat berlari di lomba lari semacam Onerun10K, saya merasa jadi warga kota seutuhnya. Saya merasa kota benar-benar dibangun untuk siapa saja. Saya bisa berlari di tengah jalan, tanpa ada mobil atau motor yang biasanya sangat royal dengan klakson. Tiba-tiba kota jadi milik semua warga, bukan hanya milik pemilik kendaraan bermotor.
- istimewa
Saya juga menikmati ikon gedung gedung bertingkat di kawasan Kuningan yang biasanya hanya saya nikmati dengan kecepatan tinggi dari dalam kendaraan. Ada Bakrie Tower yang bentuknya seperti bangunan yang tengah meliuk di angkasa.
Ada juga sungai di episentrum yang menghadirkan sepotong suasana sungai-sungai di negara maju. Ada bangku-bangku di punggir sungai dengan pohon-pohon yang rindang. Kita bisa jalan-jalan di pinggirnya, berjoging atau sekedar jalan kaki. Seluruh tepinya dihias pagar cantik yang tak membatasi kita untuk berfoto atau menikmati lansekap taman sekitar sungai.
Demikian, kota yang baik adalah kota yang terbaca oleh warganya. Kota yang memberi pengalaman warga untuk juga saling mengenal lebih dekat. Warga bukan sosok anonim, warga asing di kotanya. Saat ajang Onerun10K kemarin misalnya, lomba jadi ajang reuni dan pertemuan berbagai kolompok masyarakat. Berbagai komunitas lari bertemu di Onerun10K.
Percakapan antar warga dari banyak kelompok, etnis dan strata sosial itu menciptakan kohesi sosial. Bukankah kohesi sosial adalah modal penting agar kehidupan kota menjadi nyaman?
Konon, kerusuhan Mei 1998 terjadi karena sulitnya warga dari berbagai status sosial di Jakarta bertemu di ruang kota. Ketika terjadi konflik, tak ada kohesi sosial yang mendialogkannya dan duar, meledak-lah menjadi kerusuhan yang mengerikan.
- istimewa
Jika tak ada katup pelepas seperti ajang Onerun10K pekan lalu, bukan tak mungkin hal serupa akan terulang. Karena bagaimana pun tekanan hidup di Jakarta sebenarnya bukan bertambah ringan.
Saat ini bisa dibilang, kehidupan warga bertambah berat. Berita pabrik-pabrik bangkrut dan pengangguran terbuka semakin besar menjadi headline di media massa. Jajaran kabinet di pemerintah baru belum juga bisa menunjukan kinerjanya menumbuhkan perekonomian.
Ini semua punya potensi membuat kehidupan sipil tertekan. Lari jadi cara terbaik untuk melepaskan tekanan tersebut. Seperti tubuh yang kelelahan (stress) jalan keluar terbaiknya adalah dengan mengajaknya bergerak. Hormon yang keluar saat berkeringat itulah yang menerbitkan suasana bahagia pada tubuh. Akhirnya, stress hilang.
Yang menggembirakan, event lari yang menjaga kewarasan publik semakin banyak dan membesar pesertanya. Jakarta punya banyak ajang lari yang semakin terorganisir rapih.
Banyak event yang menghadirkan pengalaman lomba lari yang khas, spesifik. Onerun10K satu di antaranya yang punya karakteristik tersebut. Dengan ajang ini, wilayah episentrum jadi lebih hidup, dikenal sebagai salah satu tempat lari paling nyaman di Jakarta.
- istimewa
Saya kira dengan banyaknya event lari, tugas pemerintah kota hanyalah menfasilitasi sebaik-baiknya dalam bentuk memudahkan perizinan. Jika Jakarta dikenal kota yang ramah pelari, akan banyak turis datang.
Jika banyak turis datang, ada roda ekonomi yang berputar. Jakarta sebagai kota jasa, banyak pemilik hotel dan restoran akan mendapatkan pemasukan segar. Bukankah ini semua yang kita inginkan?
Load more