Onerun10K dan Cara Membaca Kota
- istimewa
Nah, perasaan menikmati kota saya dapatkan lagi ketika pekan lalu saya berlari dan ribuan pelari bergembira ria sejauh 10 kilometer di jalan raya Kuningan, dalam ajang Onerun10K.
Tiga kali sejak 2023, saya menjadi ketua penyelenggara acara ini, dan dua kali ikut berlari bersama peserta. Jadi, setelah memberi sambutan di podium dan melepas pelari dengan melambaikan bendera, saya segera turun dan bergabung dengan keriuhan pelari. Saya selalu ingin mereguk ruang kota dengan berlari.
Saat berlari di lomba lari semacam Onerun10K, saya merasa jadi warga kota seutuhnya. Saya merasa kota benar-benar dibangun untuk siapa saja. Saya bisa berlari di tengah jalan, tanpa ada mobil atau motor yang biasanya sangat royal dengan klakson. Tiba-tiba kota jadi milik semua warga, bukan hanya milik pemilik kendaraan bermotor.
- istimewa
Saya juga menikmati ikon gedung gedung bertingkat di kawasan Kuningan yang biasanya hanya saya nikmati dengan kecepatan tinggi dari dalam kendaraan. Ada Bakrie Tower yang bentuknya seperti bangunan yang tengah meliuk di angkasa.
Ada juga sungai di episentrum yang menghadirkan sepotong suasana sungai-sungai di negara maju. Ada bangku-bangku di punggir sungai dengan pohon-pohon yang rindang. Kita bisa jalan-jalan di pinggirnya, berjoging atau sekedar jalan kaki. Seluruh tepinya dihias pagar cantik yang tak membatasi kita untuk berfoto atau menikmati lansekap taman sekitar sungai.
Demikian, kota yang baik adalah kota yang terbaca oleh warganya. Kota yang memberi pengalaman warga untuk juga saling mengenal lebih dekat. Warga bukan sosok anonim, warga asing di kotanya. Saat ajang Onerun10K kemarin misalnya, lomba jadi ajang reuni dan pertemuan berbagai kolompok masyarakat. Berbagai komunitas lari bertemu di Onerun10K.
Percakapan antar warga dari banyak kelompok, etnis dan strata sosial itu menciptakan kohesi sosial. Bukankah kohesi sosial adalah modal penting agar kehidupan kota menjadi nyaman?
Load more