tvOnenews.com - Minuman manis memanglah nikmat, tapi pernahkah kita bertanya: seberapa sering kita mengkonsumsinya, dan apa dampaknya bagi tubuh kita? Sugar-Sweetened Beverages (SSB) atau minuman berpemanis gula merupakan sebuah minuman yang mengandung tambahan gula sederhana selama proses produksinya. Menurut Buwana (2023), SSB memberikan energi instan tanpa banyak kandungan gizi yang berarti. Singkatnya, minuman ini lebih banyak memberikan kalori kosong daripada manfaat.
Namun, mengapa minuman manis ini menjadi begitu melekat dalam keseharian kita, terutama di kalangan para mahasiswa? Jawabannya terletak pada habitus. Sebab di Indonesia, minuman manis terbukti telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup seseorang, terutama di kalangan para mahasiswa.
Buktinya, berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (2023), kelompok usia 15-29 tahun, tercatat sebagai konsumen SSB tertinggi di negara ini. Secara rinci, berikut merupakan data SKI 2023 yang menunjukkan bahwa tingkat konsumsi SSB di kelompok usia 15-29 tahun merupakan yang tertinggi dibandingkan kategori usia yang lainnya.
Dengan demikian, tidak mengherankan bagi kita jika kalangan tersebut sering terlihat dengan minuman manis di tangan mereka, baik itu teh kemasan, kopi susu, maupun soda.
Di tengah tingginya konsumsi SSB di kalangan anak muda, nyatanya masih banyak dari mereka yang tidak menyadari dampak negatif terhadap kesehatan akibat konsumsi SSB. Padahal, penyakit akibat konsumsi SSB berlebih dapat mengintai siapapun, lho! Penyakit akibat konsumsi ini biasanya berupa Penyakit Tidak Menular (PTM) atau penyakit yang tidak ditularkan dari satu orang ke orang lain. Penyakit-penyakit ini mencakup diabetes tipe 1 dan 2, obesitas, kerusakan pada gigi, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, penyakit jantung, bahkan kanker.
Tentunya, fenomena ini jelas telah menimbulkan sebuah pertanyaan besar: apa yang mendorong para mahasiswa tersebut untuk mengonsumsi begitu banyak gula. Mari kita kupas kebiasaan ini. Apakah mahasiswa kita terlalu manis untuk dikendalikan, atau justru sedang menuju masalah kesehatan yang serius?
Bicara terkait pola konsumsi, terdapat faktor pembentuk di dalamnya.
Pola konsumsi merupakan salah satu bentuk habitus. Habitus? Apaan, tuh? Sederhananya, habitus menurut Bourdieu adalah cara berpikir, merasa, dan bertindak yang terbentuk dari pengalaman hidup dan lingkungan sosial seseorang.
Habitus cenderung sulit diubah karena sudah tertanam dalam diri seseorang. Bentuk habitus konsumsi SSB, seperti selalu memilih teh kemasan saat istirahat belajar atau menjadikan kopi susu sebagai teman begadang.
Dalam konteks ini, habitus konsumsi SSB dapat terbentuk karena peran struktur sosial, agen sosialisasi, dan faktor-faktor lainnya.
Struktur sosial seperti kebijakan dan kapitalisme mempengaruhi siklus konsumsi SSB anak muda. Beberapa di antaranya adalah pemerintah yang belum membuat kebijakan pengenaan pajak untuk SSB. Padahal, hal tersebut terhitung efektif di negara maju sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, struktur kapitalisme yang kental juga mendukung.
Kapitalisme menimbulkan peningkatan dalam produksi minuman-minuman manis terlepas dari kondisi data obesitas di Indonesia bisa melewati perusahaan produksi dan penampilan iklan yang mengecoh.
Meski dianggap mandiri, faktor agen sosial seperti keluarga dan teman juga memengaruhi. Keluarga, sebagai agen terdekat membentuk kebiasaan konsumsi sejak dini.
Aturan meja makan, seperti minuman yang disediakan saat makan dan kebiasaan orang tua menjadi penentu. Jika keluarga jarang menyediakan SSB atau menerapkan aturan ketat tentang SSB, anak akan cenderung tumbuh dengan kebiasaan lebih sehat.
Selain itu, anak akan meniru pola orang tua yang sering menikmati SSB. Selain keluarga, teman sebaya juga memainkan peran penting. SSB sering dianggap lebih menarik secara sosial dibanding air mineral ketika bersosialisasi dengan teman.
Anak muda juga cenderung mengonsumsi SSB lebih banyak ketika teman mereka juga melakukannya, begitu juga sebaliknya, konsumsi SSB berkurang SSB berkurang jika teman sebaya jarang mengonsumsinya.
Selain faktor-faktor tersebut, lingkungan tempat tinggal atau kemudahan akses serta bentuk self reward dan obat ketika stress juga menjadi faktor pendukung anak muda mengonsumsi SSB.
Kita hidup di lingkungan dengan akses mudah terhadap minuman manis, seperti sering ditemui di pusat perbelanjaan, warung, dan toko.
Maka, ketika anak muda ingin mengonsumsi, minim hambatannya dan ini mendorong mereka untuk terus mengonsumsi SSB. Anak muda juga cenderung mencari makanan atau minuman manis sebagai bentuk apresiasi untuk diri sendiri atas kerja keras dan cara untuk mengalihkan stres.
Dengan demikian, keseimbangan antara kenikmatan dan kesehatan adalah kunci. Jadi, jangan biarkan manisnya hari ini menjadi pahit di kemudian hari. Yuk, mulai perubahan dini dari diri sendiri dan jadikan pilihan sehat sebagai bagian dari kebiasaan kita!
Penulis: Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia: Bintan Anfa Nazila, Maria Jovita Stella G, Prajna Priyanka, Sesy Priliandra Shaqina, Yosia Tannanda
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Load more