Jakarta - Kebocoran data Bank Indonesia (BI) dapat terbilang menjadi desakan yang kencang untuk Pemerintah dan pemangku kebijakan untuk dapat segera membuat Rancangan Undang- Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) disahkan.
Hal itu mengingat selain ini menjadi kebocoran data ketiga di awal 2022, ke depannya potensi kebocoran dan pembobolan data mungkin akan lebih besar menanti mengingat ruang digital terus bertumbuh.
“Pemerintah harus bekerja keras membuat aturan yang bisa mendukung supaya ada keseriusan dari pengelola data dalam melakukan perlindungan data yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi jangan hanya mau mendapatkan keuntungan dari mengelola data saja, tetapi juga harus bertanggung jawab atas data yang dikelolanya,” kata Pakar Keamanan Siber dari Vaksincom Alfons Tanujaya dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/1/2022).
Ia melihat kehadiran regulasi yang khusus untuk perlindungan data pribadi dapat memberikan proteksi yang memiliki daya ikat kuat sehingga perlindungan data tidak lagi dianggap remeh oleh para penyedia layanan pengelola data di Tanah Air.
Para penyedia jasa layanan dalam pengelolaan data pun tentunya akan bisa menunjukkan komitmen dan usaha lebih keras jika nantinya ada konsekuensi hukum yang tidak bisa dielak.
Dalam kasus kebocoran data BI yang sudah dikonfirmasi langsung lewat pernyataan resminya kebocoran data dijelaskan terjadi hanya di salah satu cabangnya yaitu di Bengkulu dengan kebocoran di 16 komputer.
Meski kebocoran itu terasa kecil untuk ukuran layanan nasional, Alfons menjelaskan sebenarnya ada beberapa data lain yang akhirnya diungkap oleh sang peretas data yaitu Conti Ransomware.
Load more