Begitulah setiap atlet sejatinya sudah berjalan jauh sebelum sampai di batas prestasinya. Pada sebuah media saya melihat foto Veddriq berdiri gagah berseragam merah putih dan memegang medali emasnya. Persis di belakang, Menara Eiffel bahkan terasa kecil dengan pencapaian yang baru diraihnya.
Bertahun tahun sebelumnya di Pemusatan Pelatihan Nasional Atlet Panjang Tebing di Bekasi, pada sebuah kamar atlet yang tak megah, Veddriq telah menempelkan papan hiasan pada sebuah dindingnya. Prakarya bergambar Menara Eiffel berwarna emas itu ia sebut "papan mimpi”.
Tak hanya berlatih, ia merasa perlu melakukan afirmasi pada mimpinya itu terus menerus dengan memandang papan mimpinya. Setiap pagi dan petang dengan rasa lelah yang belum hilang, ia melihat papan mimpinya itu. Ritual ini seperti menumbuhkan semangat dan optimisme baru.
Begitulah anak yang 20 tahunan lalu sangat suka memanjat lambung kapal yang hilir mudik di Sungai Kapuas, sebuah kegembiraan yang sering menghasilkan benjol-benjol di kepalanya karena tubrukan dengan dinding luar kapal yang biasanya terbuat dari kayu ulin yang keras itu, kini menaklukkan atlet dari Amerika Serikat dan China sekaligus.
Veddriq tak sendirian mengerek merah putih ke tingkat dunia, hanya kurang dari 12 jam seusai Veddriq ukir sejarah, lifter Rizki Juniansyah juga membuat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang: ia meraih medali emas lewat angkat besi nomor 73 kilogram setelah mengakhiri dominasi idolanya asal China, Syifa Zhiyong.
Torehan Rizki mengakhiri penantian panjang 24 tahun lamanya. Sejak Olimpiade Sydney 2000 cabang angkat besi mengirimkan puluhan atlet dengan prestasi terbaiknya hanya meraih medali perak.
Tak ada jalan lurus untuk prestasi, Rizki dilatih oleh ayahnya, Muhammad Yasin dengan keras dan disiplin. Sejak kecil Rizki tak dibolehkan menawar menu latihan yang disodorkan sang ayah yang mantan lifter nasional. Apapun kesakitan dan penderitaan disebut Yasin sebagai risiko pada pilihan Rizki yang ingin jadi lifter nasional mengikuti jejak Yasin.
Load more