SETELAH Pembacaan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil Pilpres, Pileg DPR RI, dan Pileg DPD RI 2024, hal yang paling serius dalam politik Indonesia hari ini selanjutnya adalah mewujudkan harapan.
Inilah saatnya membuktikan bahwa kemenangan politik bukan sebuah pergulatan yang subyektif atau sepihak. Perjuangan politik yang kemarin dipraktikan secara keras oleh ketiga poros kekuatan politik—bahkan mungkin menjurus brutal—hanyalah berangkat dari perjuangan mewujudkan kebenaran dan keadilan yang sama. Sebuah kebenaran dan keadilan untuk siapa saja. Rumusannya mestilah sederhana: kemenangan politik bukan lah kemenangan bendera atau kelompok, tapi kemenangan pada yang universal, nilai-nilai, yakni kebenaran dan keadilan.
Setelah kemenangan politik, selanjutnya bukan soal yang mudah. Menavigasi bangsa ini sendirian, meski mendapatkan mandat lewat pemilu bukan perkara sepele. Apalagi setelah kemenangan, tak selamanya yang datang adalah ketulusan. Prabowo Subianto yang dinyatakan Komisi Pemilihan Umum unggul dalam perolehan suara Pemilu 2024 menyatakan sendiri hal tersebut.
“Kawan sejati itu di saat susah. Kalau di saat baik, senang itu banyak. Tidak pernah nongol akan nongol semua dan kadang bawa titipan lagi,” ujar Prabowo saat berkunjung ke mitra koalisinya Partai Amanat Nasional.
Apa boleh buat, the winner takes it all nyatanya tak berlaku. Pemenang justru harus berbagi, agar pemerintahannya efektif. Kita tahu, Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo-Gibran Rakabuming hanya mendapatkan 43,18 persen. Belum aman untuk memuluskan program pemerintah di parlemen. Apalagi, sudah jelas, kursi strategis Ketua DPR, menurut UU MD3 pasal 427D akan dipegang oleh PDI Perjuangan. Penguasaan kursi Ketua DPR oleh PDIP bisa menyulitkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Sementara, empat Wakil Ketua DPR akan diperoleh Golkar, Gerindra, Nasdem dan PKB.
Dalam konteks itulah Prabowo Subianto pekan lalu menemui Surya Paloh, Ketua Umum NasDem, partai yang sebelumnya mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam Pemilu 2024. NasDem memperoleh suara cukup signifikan: bertengger di lima besar pemenang pemilu, perannya sangat dibutuhkan untuk memuluskan program-program pemerintah berikutnya di Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertemuan pertemuan antar tokoh politik ke depannya pastilah akan lebih sering dilakukan. Seperti gunung es yang perlahan mencair, kebekuan-kebekuan, polarisasi antarelit politik perlahan juga bakal meluruh. Bukankah politik adalah seni mengelola kemungkinan-kemungkinan, termasuk ke batas yang muskil sekalipun.
Barangkali karena itu Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir, orang yang selama ini menempatkan diri sebagai guru bangsa menyebut kemenangan dalam kontestasi politik, sebenarnya bukan kegembiraan melainkan justru menjadi sebuah kewajiban, tanggung jawab dan beban yang berat. Pemenang harus punya kerendahan hati, jiwa negarawan untuk merangkul semua.
"Hal yang terbesar dari agenda para pemegang mandat itu adalah menjalankan konstitusi dan membawa Indonesia menjadi negara yang betul-betul merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Artinya negara yang progresif maju," kata Haedar.
Apa yang disebut Haedar tentang negara yang betul-betul merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, dalam masyarakat Jawa disebut zaman Ratu Adil.
Sastrawan dan rohaniawan Sindhunata belum lama merilis edisi bahasa Indonesia dari buku disertasinya pada di Hochschule fur Philosophie, Philosophische Fakultat SJ di Munchen, Jerman tentang sejarah wong cilik (rakyat kecil) mendamba ratu adil dalam kosmologi Jawa.
Menurut Sindhunata, Ratu Adil adalah tradisi mesianisme Jawa yang laten. Lahir dari sejarah perlawanan rakyat terhadap penindasan kolonialisme dan imperialisme penjajah, mereka ingin bebaskan diri dari penderitaan dengan caranya sendiri. Harapan akan datangnya zaman Ratu Adil jadi semangat, elan vital dalam hidup rakyat dari zaman ke zaman.
Dari sejarah kita tahu perlawanan dan pemberontakan rakyat kecil itu pada kesewenangan kolonial memang kerap berakhir dengan kegagalan. Namun, kegagalan ini tak menghilangkan dan meniadakan harapan yang tersimpan dalam perlawanan mereka. Harapan itulah yang harus kita rawat terus sampai kini.
Soekarno muda, ujar Sindhunata, misalnya adalah seorang intelektual yang bisa menangkap ide Ratu Adil itu sebagai harapan seluruh rakyat Indonesia. Sebelum diasingkan ke pembuangan, di hadapan sidang hakim-hakim kolonial, ia memaparkan pidato pembelaannya yang terkenal berjudul ”Indonesia Menggugat” (18 Agustus 1930).
Di sana tampak Soekarno menangkap Ratu Adil bukan sebagai mitos atau khayalan, tapi sebagai ”harapan” yang riil ada di dalam hati wong cilik yang menderita dan mencita-citakan pembebasan.
”Kalau rakyat mengira Ratu Adil itu telah muncul, itu tak lain tak bukan karena hati rakyat yang menangis itu, tak henti-hentinya, tak habis-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan datangnya pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak henti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik, menunggu-nunggu dan mengharap-harap: 'kapan, kapankah matahari terbit?'”
Nah, Prabowo yang unggul dengan 96.214.691 suara, menang tebal di 36 provinsi dari 38 provinsi yang ada di Indonesia, punya peluang menjawab pertanyaan laten soal “kapan matahari terbit?” Kapan ratu adil yang membawa masyarakat adil dan makmur akan tiba?”
Agaknya rakyat sudah bosan mengalami zaman edan. Jika zaman edan di masa lampau adalah saat penderitaan rakyat begitu tak tertanggungkan akibat penjajahan Belanda, zaman edan saat ini adalah kemiskinan hidup rakyat kecil yang digerogoti oleh budaya korupsi kaum elit dan priyayi.
Rakyat ingin kekacauan segera hilang digantikan zaman baru yang penuh dengan kenormalan.
Demikian, untuk para pemenang negeri ini selalu memanggil manggil untuk terus didefinisikan ulang. Saatnya para pemenang menulis sejarah Indonesia yang lebih adil terbuka dan demokratis. Sebab. menjadi Indonesia adalah sesuatu yang belum selesai atau tak pernah selesai. Ia adalah kata kerja.
Sebab, saya yakin, bagi Prabowo---juga sebenarnya bagi kita semua—tanah air ini bukan sekedar sebuah tempat tinggal, Indonesia adalah sebuah amanat.
Dan amanat tersebut adalah mewujudkan harapan rakyat kecil yang telah lama terlunta lunta. Harapan untuk lepas dari penderitaan dan kemiskinan. Karena telah begitu banyak orang yang sudah berkorban memperjuangkan cita cita dan harapan itu.
Bagi rakyat kecil harapan itu sebenarnya tidak terlampau muluk. Ia juga bukanlah emosi yang datang dan pergi sesaat. Bagi rakyat kecil, memelihara harapan adalah energi untuk hidup, semangat untuk terus berjuang di dunia yang fana ini. Ia nafas optimisme, bukan keluhan pesimisme. Jadi, seandainya kemenangan politik ini bisa menjauhkan wong cilik ini dari penindasan, penderitaan, kemiskinannya sudah cukup lah dikatakan ”Politik Ratu Adil” sudah terwujud. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more