DI DEPAN gedung kesenian yang bentuk fasadnya mirip kulit nanas, Esplanade, perempuan muda berkulit putih, berambut blonde itu sendirian saja membawa poster bertuliskan: “Run, stranger, run!” Ia sesekali juga berteriak menyemangati 44 ribu pelari -–kabarnya 4.000 pelari berasal dari Indonesia-- yang terus menerus mengaliri jalan-jalan negara-kota yang selalu mulus, steril dan bersih itu.
Perempuan itu jelas seorang stranger. Namun, agaknya ia tahu “orang asing” di Singapura disebut bukan sebagai ancaman. Stranger adalah penyelamat, mesias bagi ekonomi di Temasek.
Orang liyan, asing, imigran bagai laron mengejar pijar lampu itu akan bekerja, berwisata, berbelanja, membayar pajak, membawa pertumbuhan ekonomi, menciptakan kemakmuran bagi negara berpopulasi 5,5 juta jiwa ini (hanya separuh penduduk Jakarta).
Salah satu didikan keras Lee Kuan Yew, bapak modernisasi dan kemakmuran Singapura, selain sekian aturan ketat soal etos kerja dan perilaku yang remeh temeh, seperti tidak merokok dan memakan permen karet di sembarangan tempat adalah bersikap ramah pada imigran.
Untuk menerapkan aturan tersebut, Lee yang dikenal keras mendidik warganya, memberi banyak sanksi bagi yang tak melakukan. Hukuman denda uang hingga hukuman fisik yang keras menanti warga yang lengah dengan aturan.
“Tanpa Imigran, kita hanya akan jadi The Last Mohican,” ujar Lee suatu kali.
Namun, ‘pria bijak dari Timur’ ini terbukti benar. Melebihi Fidel Castro dan Kim Il Sung, Lee Kuan Yew sedikit dari pemimpin kuat di Abad 20 yang mampu mewujudkan mimpinya menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Lee berhasil mentransformasi sebuah bangsa, dari dunia ketiga menjadi dunia pertama, dengan peningkatan PDB per kapita warganya salah satu yang tertinggi di dunia. Bahkan dalam kasus Singapura tentu lebih sulit karena kecilnya wilayah dan tak adanya sumber daya alam.
Yang hebat adalah persistensi warganya mempertahankan capaian-capaian itu. Lebih dari 63 tahun setelah Lee “merevolusi” budaya Singapura pada 1959 “pelayanan” untuk tamu negara tetap akurat, tertib, hampir-hampir rigid.
Saya mengikuti Singapore Marathon untuk kedua kalinya pekan lalu dan selalu takjub bagaimana mereka selalu lihai mengelola ribuan orang yang datang secara bersamaan entah di ajang olahraga, konser musik, pameran, atau konferensi.
Saat start pelari dibagi dalam kelompok-kelompok, mereka berjajar memanjang di jalanan sirkuit yang digunakan untuk ajang balap Formula 1. Saat berlari, meski melewati seluruh jalan raya di pusat kota, rute lari benar benar steril, bebas dari kendaraan yang nyelonong masuk ke arena lomba.
Dan agaknya warga menerima seluruh penutupan jalan. Tak ada protes atau suara klakson yang bising. Tak ada hardikan pengguna jalan lain ketika jalan yang seharusnya digunakan untuk mode kendaraan tapi dipakai untuk lari dalam kota.
Singapura agaknya simbol sebuah negara pengawasan yang sangat efektif.
Saat berlari saya menemukan seorang bule yang tiba tiba memotong jalur, ---mungkin karena kelelahan atau merasa tak ada petugas yang mengawasi--- tiba tiba entah dari mana ada seorang petugas muncul, menghampiri saat ia berlari dan mencoret nomor peserta di dadanya. Ia berusaha membela diri. Tapi petugas beretnis Tionghoa itu pasti tak peduli. Ia segera ngeloyor pergi.
Sopir taksi yang saya tumpangi membanggakan sistem lalu lintas yang lancar--meski sebenarnya sangat mempersulit dirinya.
Ia misalnya tak bisa berhenti, mengambil dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, termasuk di halte halte bus yang lapang. Selama mengemudi ia nampak patuh, tertib, tidak zig zag ataupun mengambil jalur kendaraan lain. Ia hanya berhenti di titik titik taksi yang disediakan. Singkatnya, ia sosok warga yang patuh pada apapun aturan negaranya.
"Ini sistem untuk siapa saja. Kami tak peduli siapa Anda, tapi ini peraturan bersama," ujarnya sambil mengemudi ketika saya menggodanya tidakkah ingin sesekali melanggar banyaknya aturan di negerinya.
Tapi, bahagiakah warga Singapura dengan banyaknya tekanan pemerintahnya? Agaknya tetap berbahagia. Mereka sepertinya tak membutuhkan demokrasi dan pers yang bebas, misalnya.
Saya melihat mereka berkumpul, makan dan minum dengan sesama etnisnya---India dengan India, Melayu dengan Melayu, Tionghoa dengan Tionghoa---dan tampak berbahagia saja. Lari pagi di sekitar patung Merlion dengan suasana danau buatan yang tenang.
Atau pergi makan di pinggir sungai di sekitar Clarke Quay, dengan pemandangan lampu kelap kelip dari perahu yang hilir mudik membawa wisatawan. Anak anak mudanya berjoget dan minum-minum di bar dengan musik hidup yang pramusaji dan pemain musiknya warga dari segala bangsa.
Pemerintah Singapura dengan efektif dan efisien melayani dan menyediakan apa saja kebutuhan warganya.
Apakah benar tak ada yang perlu dikritik di Singapura? Saya kira tidak benar.
Seperti juga yang kini tengah membelit di Indonesia, Singapura terancam oleh kekuasaan yang berjalan terlampau lama. Terlalu lama berkuasa, instrumen penguasa menjadi aus dan cenderung korup. Pada akhirnya skandal-skandal mulai membelit, ada di sektor swasta maupun negara. Penyimpangan juga bisa merupakan kombinasi praktek tercela dari legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pada Mei 2023 lalu Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan dan Menteri Hukum dan Dalam Negeri K. Shanmugam disorot karena gaya hidup mewah yang diluar kepatutan.
Keduanya mampu membayar sewa dua bungalow era kolonial milik pemerintah Singapura yang transaksinya melibatkan sebuah badan pemerintah di bawah tanggung jawab Shanmugam di Kementerian Hukum, Otoritas Pertanahan Singapura. Ada indikasi kuat terjadi korupsi memperdagangkan pengaruh untuk mendapatkan layanan mahal tersebut.
Masih di tahun yang sama, Biro Investigasi Praktik Korupsi (Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB) mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada konglomerat Ong Beng Seng yang diduga terlibat dalam pusaran korupsi.
Ong Beng Seng ditengarai terlibat dalam skandal korupsi penyelenggaraan F1 yang juga melibatkan Menteri Transportasi Singapura S Iswaran. Skandal ini jadi tamparan keras bagi Singapura yang selama ini identik dengan negara bersih dari praktik korupsi.
Dari parlemen isu bacin juga berhembus. Ketua Parlemen Singapura, Tan Chuan Jin mengundurkan diri dari jabatannya karena terlibat perselingkuhan dengan anggota parlemen separtai, Cheng Li Hui.
Walau keduanya akhirnya mengundurkan diri dari Partai Aksi Rakyat (PAP) yang diumumkan oleh Kantor Perdana Menteri (PMO), namun citra partai politik konservatif yang selalu menang pemilu hingga 80 persen di semua daerah pemilihan sejak 1965 ini kepercayaan publiknya terus tergerus.
Cerita semacam ini juga terus berulang. Beberapa waktu lalu, seorang anggota parlemen dari Partai Buruh (WP) bernama Leon Perera, misalnya terekam kamera tengah bermesraan dengan sesama anggota senior partai Nicole Seah di sebuah restoran.
Setiap negara punya bau harum dan bacinnya sendiri-sendiri. Dan, bagi saya, pendekatan model “pemimpin kuat” yang mengedepankan hanya pembangunan ekonomi, mengabaikan demokrasi dan hak hak sipil, seperti yang pernah dipraktekan oleh Soeharto di Indonesia, Mahathir Mohamad di Malaysia dan Lee Kuan Yew di Singapura bukan tanpa kritik.
Saya melihat ada kecenderungan di Indonesia mengarah ke sana.
Saya kira pengalaman Indonesia dalam hal menegakkan demokrasi dan melembagakan kritik cukup membanggakan jika dibandingkan dengan negara serumpun, macam Singapura dan Malaysia. Kita tetap kampiun demokrasi di Asia Tenggara dan sebaiknya tak kembali ke masa lalu, memilih pemimpin otoriter, meski di sini demokrasi baru menimbulkan kegaduhan, belum kemajuan dan kesejahteraan.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more