Satu hari setelah serangan Badai Al Aqsa, ia menulis surat yang dimuat Middle East Monitor menyebut serangannya bagian dari mengutuk pemukim-pemukim baru yang sikapnya seperti Goldstein.
“Pendudukan Israel melarang warga Palestina mengakses Masjid Al-Aqsa dan mengizinkan pemukim pemukim baru kolonial Israel mengotori situs suci umat Islam dan melakukan penggerebekan setiap hari ke kompleks suci umat Islam,” tulis Deif dengan lancar.
(Arsip Foto - Masjid Al-Aqsa. Sumber: ANTARA)
Deif beruntung saat muda masuk Hamas. Organisasi perlawanan modern yang diinisiasi aktivis Ikhwanul Muslimin pada 1970-an itu terus melahirkan pejuang pejuang baru dari kancah pertempuran.
Pada 2010 saya pernah memasuki markas tertinggi mereka di Gaza. Dengan mata tertutup, para pengawal bersenjata dan orang orang sipil membawa saya dengan kendaraan ke sebuah tempat. Selanjutnya saya memasuki lorong lorong bawah tanah (juga dengan mata tertutup) yang agaknya dijadikan benteng pertahanan sekaligus tempat menggembleng pejuang-pejuang terbaik Hamas.
Setelah beberapa saat barulah mata saya dibuka. Dalam keremangan saya melihat bendera pembebasan Palestina terpasang pada sebuah dinding batu di ruangan seluas 5 meter x 5 meter. Ada peta wilayah terpancak di satu sisi ruang. Beberapa pengawal bersenjata menjaga pintu masuk ke ruang tersebut. Sesosok pria jangkung dengan mata teduh lalu menyapa saya.
Ia kemudian saya kenali sebagai Khaled Mashal, orang yang ikut mendirikan organisasi berwibawa ini pada 1987.
Sejujurnya, saya tidak terlalu ingat percakapan kami soal pandangan politiknya saat itu dalam membedah konflik Palestina-Israel. Yang terkenang hingga kini adalah gaya bicaranya yang runtut, teratur, terasa menghormati lawan bicara, termasuk saat terlihat takzim ketika mendengar dan menjawab.
Load more