Shin Tae-yong
- tim tvonenews
Namun, STY tetap tak bisa menelan bulat bulat teori sepak bola dari negeri manapun, karena yang menjalankan semuanya di lapangan hijau tetap pemain. Ia tetaplah seorang sutradara yang tak ikut bermain di antara sebelas pemain di lapangan hijau.
Barangkali karena itu ia di Indonesia belajar lebih “manusiawi” dalam melatih daripada ketika menangani Timnas Korea Selatan. Ia kini bisa santai tertawa tawa dengan pemain yang mulai berani menggodanya. Ia mengejar Marselino Ferdinan yang teriak “bulgogi-bulgogi” ketika tengah merayakan kemenangan.
Dalam video yang lain ia menjewer pemainnya yang langsung meninggalkan ruang jumpa pers tanpa memberi hormat pawa pewarta. Ia juga nampak memijat kaki Pratama Arhan yang tertawa tawa menggoda sang pelatih. “Ya..ya..ya,” hanya itu yang diucapkan oleh STY setiap digoda oleh pemain pemain mudanya.
Padahal, ia semula terlihat depresi dengan tradisi yang harus ia hadapi di negeri barunya: suasana santai, bermain main selalu. Sesama pemain selalu bercanda sejak di dalam bus hingga ruang ganti pemain. Ritual memakai jersey hingga sepatu yang harus memerlukan waktu lebih lama, sehingga selalu ada pemain yang terlambat masuk ke arena pertandingan.
(Timnas Indonesia U-23 ketika mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada laga melawan timnas Turkmenistan U-23 dalam kualifikasi Piala Asia U-23 2024 di Stadion Manahan, Solo. Sumber: ANTARA)
Apalagi sebagai pelatih tiba tiba ia mengurus hampir seluruh detil pembangunan skuad. Ia misalnya tak hanya berurusan dengan strategi menghadapi lawan dalam waktu 2x45 menit saja, tetapi juga sibuk membengun fondasi kekuatan fisik, asupan gizi, mentalitas, hingga hubungan personal.
Saya ingat keluhan STY soal kesukaan pemain Indonesia yang harus segera dikurangi: makan gorengan. Bayangkan, seorang pelatih Timnas bahkan harus intervensi pada hal elementer semacam melarang makan gorengan menunjukan betapa yang harus ia lakukan adalah sejenis revolusi mental, perubahan mendasar dari dalam yang dilakukan secara cepat dan terstruktur.
Saya kira yang cukup menentukan dari kesuksesan STY membesut Timnas Indonesia adalah faktor penerimaan pemain. Terlihat hubungan yang karib melampaui peran pelatih-pemain tak hanya saat di lapangan hijau, tetapi hingga ke seharian. Ini semua terjadi dengan halus karena “penaklukan budaya”: masyarakat Indonesia sangat menerima apapun yang berasal dari Korea Selatan. Ini juga diakui oleh STY dan jadi alasan menerima tawaran PSSI.
Load more