Dia lantas membandingkan dengan Indonesia yang hanya memunculkan sedikit pasangan calon.
Menurut Titi, alasannya karena Indonesia terhalang dengan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya.
"Karena ada ambang batas pencalonan presiden yang angkanya berasal dari pemilu masa lampau menjadikan sistem presidensial rasa parlementer,” ujarnya.
Kata Titi, meskipun partai politik itu dinilai sangat kuat, tetapi jika persentase tidak mencapai ambang batas yang ditetapkan, maka bisa muncul praktik politik jual beli.
“Terlebih masih ada 11 bulan lagi masyarakat akan terus disajikan berita mengenai pertemuan antar elite politik dan selama itu pula kita tidak bisa mengakses apa isi pertemuan tersebut," tandas dia. (saa/nsi)
Load more