Jakarta - Pemberitaan tentang kasus pembunuhan Brigadir J akhir-akhir ini menciderai citra Instansi Kepolisian. Berkaca pada era Orde Baru muncul seorang polisi yang jujur bernama Hoegeng Iman Santoso, Semasa jadi Kapolri menindak dan memberantas mafia-mafia yang turut memiliki kepentingan terselubung dengan "Orang Besar".
Hoegeng Iman Santoso, Pria kelahiran 14 oktober 1921 di Pekalongan yang dikenal sebagai Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ke-5 yang aktif berdinas pada era Orde Baru (1968-1971) Kepemimpinan Presiden Seoharto.
Kapolri Hoegeng dikenal masyarakat indonesia sebagai polisi jujur dan hidup sederhana. (ist)
Era kepemimpinan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai polisi yang jujur dan penuh pendirian, di saat budaya upeti tengah populer saat itu. Dengan tegas Hoegeng menolak segala pemberian barang dari beberapa 'orang besar'.
Saat olahraga golf menjadi sebuah tren permainan pejabat teras, dirinya tidak bermain bukan karena anti-golf, melainkan karena golf permainan mahal. serta harga stik golf yang sangat mahal dan tidak punya uang.
Salah satu menteri pernah menawarinya untuk bermain saja tanpa memikirkan stik, nanti ada yang kasih. Suami dari Merry ini dengan tegas menolak upaya pemberian itu karena tidak ingin punya beban utang budi.
Hoegeng pernah mendapat laporan dari Dirjen Bea Cukai menyoal bisnis penyelundupan tekstril orang india kepada orang kostrad, mendengar laporan itu, dirinya menghadap terlebih dahulu menginformasikan kepada Presiden Soeharto tentang persoalan kasus ini.
Dua hari kemudian Pak Harto mengatakan,"Terserah Hoegeng saja,". Dengan sigap polisi lulusan akademi kepolisian pertama di Indonesia itu, menindak tegas penyelundup tersebut dengan menyita barang selundupannya dan mendenda sebarat-beratnya.
Dalam buku Memoar: Senarai Kiprah Sejarah (1993), Diceritakan bahwa suatu hari Hoegeng sedang gencar menyelidiki kasus Robby Tjahyadi alias Sie Tjie It. seorang pengusaha besar dan penyelundup mobil mewah ke Indonesia.
Jenis mobil yang diselundupkan bermacam-macan, mulai dari BMW, Mercedez Bens, Alfa Romeo hingga Rolls-Royce.
Rupanya Hoegeng dianggap berbahaya oleh beberapa pihak yang tak senang Kasus Robby Tjahyadi coba diusut. Informasi bisnis penyelundupan mobil itu didapatkan dari petugas Bea Cukai dan rekan kepolisian.
Jenderal Hoegeng menyelidiki kasus itu seperti layaknya kasus kriminal lainnya, tanpa pandang bulu dan tanpa mengetahui imbas besar pada karirnya sebagai Kapolri.
Ketika pemberitaan gerak-gerik kegiatan bisnis ilegal Robby Tjahyadi mulai menyeruak ke media saat itu, mulai banyak pejabat yang berlomba-lomba ingin membebaskannya.
Namun, sekali lagi Kapolri Jenderal Hoegeng tak memikirkan atau memperdulikan semua itu. Karena dirinya bersama tim kepolisian hanya ingin menagani kasus kriminalitas tanpa melihat pangkat dan jabatan.
Sayang sekali, Ketika akhirnya Robby Tjahyadi ditangkap dan diadili. Hoegeng sudah tak menjabat sebagai Kapolri, pada tanggal 6 September 1971 dirinya dipanggil oleh Presiden Soeharto untuk menghadap.
Ia ditawari sebagai Duta Besar Indonesia untuk Belgia, tetapi menolak karena sepanjang hidupnya belajar jadi polisi akan merasa aneh untuk pindah negara untuk menjadi duta besar. serta mempertimbangkan anak-anaknya yang masih menempuh pendidikan di Indonesia.
Kapolri ke-5 Jenderal Hoegeng Iman Santoso. (ist)
Hoegeng masih belum menerima alasan pemberhentiannya, disamping banyak yang menyalahkannya atas terlalu bergairah untuk menangani kasus Robby Tjahyadi. yang dikenal memiliki bekingan "Orang Besar.
Kapolri kelahiran Pekalongan itu dianggap berbahaya oleh orang besar yang memiliki kepentingan dengan Robby. yang memilki bekingan cukup kuat untuk mempengaruhi posisi dari Hoegeng.
Menurut, Hoegeng alasan yang disampaikan untuk pergantian posisinya dengan Jenderal Hasan adalah untuk 'Peremejaan' padahal saat itu Jenderal hasan jauh lebih tua dua tahun daripada Hoegeng.
Hingga perpisahan dengan para anak buahnya yang melayani dan ikut serta dalam memberantas segala praktik suap maupun kasus penyelundupan mobil mewah Robby Tjahyadi.
Anak buahnya memberikannya wayang kulit Brotoseno sebagai simbolis mengingat seperti sifatnya yang selalu jujur dan pantang kompromi.
Dalam buku autobiografi Hoegeng yang berjudul Polisi: Idaman dan Kenyataan (1993), mantan Kapolri itu menyebutkan bahwa Robby hanya mendapat bagian kecil, yakni sekitar 10 persen yang dikutip dari VIVA.
Sisa dari keuntungan yang didapat, dibagikan ke para oknum yang memuluskan jalan mobil-mobil mewah itu agar bisa tiba di Indonesia tanpa gangguan.
Menurut pria yang akrab disapa Jenderal Hoegeng itu, total kerugian negara kala itu mencapai Rp700 juta lebih. Angka yang sangat besar di zaman tersebut.
Modus yang dipakai Robby, kata Hoegeng, yakni dengan meminjam paspor orang-orang tertentu. Mobil dibeli dari luar negeri, dan kemudian diklaim milik pemegang paspor tersebut.
Untuk menghindari pajak, Robby menulis keterangan di surat jalan bahwa kendaraan mahal itu statusnya pindahan si pemilik, yang diklaim pernah bertugas di luar negeri.
Pada era Kepemimpinan Presiden Seoharto, bea cukai memang memperbolehkan WNI yang pernah bekerja di luar negeri untuk membawa kendaraan pribadi mereka ke Indonesia, tanpa harus membayar pajak. (ind)
Load more