Pertamax Green 95 Digadang-gadang Jadi Katalis Ekonomi Baru, Disebut Ampuh Kurangi Emisi dan Impor Energi
- Antara
Jakarta, tvOnenews.com - Pemerintah meluncurkan Pertamax Green 95 sebagai langkah strategis yang tidak hanya mendukung target Net Zero Emission 2060, tetapi juga memperkuat ekonomi nasional dengan mengurangi impor energi dan memperluas peluang kerja di sektor akar rumput.
Ekonom dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin, menyebut pengembangan industri etanol membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat desa.
Ia menilai, kehadiran Pertamax Green 95 mendorong gairah petani untuk menanam tanaman penghasil etanol seperti tebu, jagung, dan singkong.
“Pengembangan etanol itu bukan hanya bicara mengenai industri yang terlibat. Ada loh masyarakat yang kembali bergairah untuk menanam tanaman-tanaman yang menghasilkan yang bisa dijadikan etanol,” ujar Gunawan, kepada media, Selasa (11/11/2025).
Pertamax Green 95 merupakan bahan bakar dengan kandungan 5 persen bioetanol (E5) yang telah dikomersilkan Pertamina Patra Niaga selama dua tahun.
Etanolnya diproduksi dari bahan baku lokal, yaitu molase atau tetes tebu yang diolah oleh supplier domestik di Mojokerto, Jawa Timur.
Gunawan menekankan, penguatan industri etanol akan menstabilkan harga komoditas pertanian dan memperkuat ekonomi rakyat kecil. Lebih jauh, peningkatan kadar etanol juga akan menghemat anggaran negara dengan menekan ketergantungan terhadap impor energi.
“Jika etanol ditambah porsinya maka kebutuhan impor energi kita itu akan berkurang. Ada alokasi anggaran yang bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif lainnya,” jelasnya.
Pandangan serupa disampaikan pakar energi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Warjio, yang menilai penambahan campuran etanol dari 5 persen menjadi 10 persen pada 2025 sebagai kebijakan strategis memperkuat ketahanan energi nasional.
“Tambahan 10 persen etanol di BBM dalam satu tahun ke depan saya kira itu bisa dicapai. Dengan tentu saja keseriusan pemerintah, dukungan pendanaan yang kuat,” ujar Warjio.
Ia mendorong agar pemerintah menjadikan Sumatera Utara sebagai salah satu sentra produksi bahan baku etanol, dengan memperkuat riset dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia di daerah.
“Research center and development kita harus kuatkan. Selama ini kan mungkin lumbungnya hanya di area tertentu. Tapi dengan penguatan research center–development, ini bisa akan terungkap sumber-sumber lain dari daerah lain. Dikuatkan dengan partnership dengan universitas yang ada,” jelasnya.
Sementara itu, pakar kebijakan publik USU, Fredick Broven Ekayanta, menilai kebijakan etanol bisa menjadi pendorong kesejahteraan masyarakat jika dijalankan dengan tata kelola yang pro rakyat.
Ia mendorong agar pemerintah menyalurkan subsidi langsung ke petani untuk memproduksi etanol, bukan hanya pada perusahaan besar.
“Ya pasti sangat baik. Karena kondisi geografis kita itu sangat mendukung untuk produksi etanol kan. Apalagi masyarakat kita banyak petani di sektor pertanian dan perkebunan. Kalau misalnya pemerintah kasih subsidi secara masif bagi mereka, bisa kan, karena sumber dayanya ada di kita,” ujar Fredick.
Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tidak membiarkan industri etanol dikuasai kelompok bisnis besar semata.
“Jangan kemudian pemainnya itu pengusaha besar lagi. Apalagi kalau dikerjakan dengan logika bisnis yang menurut saya bisnis as usual aja,” tegasnya. (agr/muu)
Load more