Soal Pemberantasan Tambang Ilegal, PERHAPI: Bukan Sekadar Retorika
- istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) menegaskan pentingnya komitmen nyata dalam pemberantasan tambang ilegal agar tidak berhenti sebatas wacana.
Ketua Umum PERHAPI, Sudirman Widhy Hartono, menilai langkah pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto membuka babak baru dalam penegakan hukum sektor mineral dan batubara.
“Program pemberantasan tambang ilegal harus dijalankan secara sistematis, lintas lembaga, dan berkelanjutan. Ini momentum untuk memperbaiki tata kelola sumber daya nasional,” jelas Sudirman.
Menurutnya, pembentukan Satgas Pemberantasan Tambang Ilegal dan Kawasan Hutan menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah serius menindak pelaku perusakan sumber daya alam.
“Kami mengapresiasi langkah Presiden yang langsung menyoroti masalah ini dalam Sidang Tahunan MPR 15 Agustus lalu. Ini pertama kalinya isu tambang ilegal benar-benar diangkat di level tertinggi negara,” tambahnya.
Masalah tambang ilegal, lanjut Sudirman, bukan hal baru. Aktivitas ini sudah muncul sejak masa kolonial, terutama pada komoditas timah, emas, dan batuan.
Namun, lonjakan signifikan terjadi sejak era reformasi akhir 1990-an, ketika penggunaan alat berat seperti ekskavator dan truk besar mulai masif.
“Praktik tambang ilegal tidak mungkin dijalankan oleh rakyat kecil semata. Ada keterlibatan modal besar, jaringan lokal, hingga oknum aparat,” jelasnya.
Kini, aktivitas tersebut telah merambah hampir semua komoditas strategis — batubara di Kalimantan, nikel di Sulawesi, emas di Sumatera, hingga bauksit di Kalimantan Barat.
Berdasarkan data yang disampaikan Presiden, terdapat lebih dari 2.000 lokasi tambang ilegal di seluruh Indonesia.
PERHAPI mencatat, fenomena ini menunjukkan adanya pencurian sumber daya alam secara terorganisir lintas wilayah dan komoditas.
“Jumlahnya terlalu besar untuk dipantau manual. Ini masalah sistemik,” kata Sudirman.
Sebagai organisasi profesi, PERHAPI turut mengambil peran aktif dalam mendukung agenda pemerintah.
Sudirman menyebut pihaknya telah bekerja sama dengan Bareskrim Polri dan sejumlah Kejaksaan Tinggi di Kalimantan untuk memberikan dukungan teknis dalam penyelidikan kasus tambang ilegal.
“Kami berkontribusi dalam menghitung estimasi cadangan yang hilang, potensi kerugian negara, hingga dampak lingkungan. Semua berbasis data geologi,” jelasnya.
PERHAPI juga menyatakan siap menjadi mitra strategis pemerintah dan aparat penegak hukum dalam reformasi tata kelola pertambangan nasional.
“Kami siap membantu pemerintah menegakkan hukum dan memastikan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam,” tegas Sudirman.
Sebagai alternatif, PERHAPI mendorong skema kemitraan antara masyarakat dan perusahaan tambang.
“Masyarakat bisa dilibatkan dalam jasa pengamanan, logistik, hingga hauling batubara,” ujar Sudirman.
Skema ini, lanjutnya, sudah berjalan di beberapa daerah di Kalimantan dan terbukti efektif meningkatkan pemerataan ekonomi tanpa melanggar regulasi.
“Ini solusi yang realistis untuk menciptakan keadilan tambang tanpa menabrak aturan,” bebernya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Prabowo mengungkapkan fakta mengejutkan soal maraknya aktivitas pertambangan ilegal yang telah berlangsung selama dua dekade terakhir.
Ia menyebut, praktik haram tersebut telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp800 triliun dalam kurun waktu 20 tahun.
Hal itu disampaikan Prabowo saat menyaksikan penyerahan hasil tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) senilai Rp13,2 triliun, di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan, Senin (20/10/2025).
Ia menegaskan bahwa pemberantasan tambang ilegal masih menjadi pekerjaan besar pemerintah karena praktik ini masih marak di berbagai daerah.
“Masih banyak tambang yang ilegal, kerugian kita juga mungkin puluhan triliun atau ratusan triliun,” tegas Prabowo.
Presiden mencontohkan kasus penyelundupan timah di Bangka Belitung (Babel) yang kini mulai ditertibkan berkat kerja sama TNI, Kejaksaan Agung, Polri, dan Bea Cukai. Dari data yang ia terima, aktivitas ilegal tersebut menyebabkan potensi kerugian negara hingga puluhan triliun setiap tahun.
“Diperkirakan kerugian itu Rp40 triliun setahun, dan ini sudah berjalan kurang lebih hampir 20 tahun. Jadi, kita bisa bayangkan Rp30 triliun atau Rp40 triliun, katakanlah kita ambil angka rendahnya Rp20 triliun tiap tahun. Lembaga-lembaga internasional pun sudah mengkaji, sekitar US$3 miliar setahun kerugiannya. Kalau dikali 20 tahun itu adalah Rp800 triliun,” jelas Prabowo.
Prabowo menyoroti berbagai modus yang digunakan dalam praktik pertambangan ilegal, mulai dari under invoicing, over invoicing, hingga miss invoicing, yang semuanya berujung pada penipuan terhadap negara.
“Negara apa yang kita bisa bangun dengan hal-hal seperti itu. Ilegal tambang, ilegal komoditas, lainnya dengan segala bentuk cara dan modusnya. Ada under invoicing, ada over invoicing, intinya miss invoicing yaitu penipuan. Nipu pada bangsa Indonesia yang sudah begitu baik memberi fasilitas, memberi lahan, memberi HGU. Jadi, saya kira intinya itu,” tandasnya.
Pernyataan tegas Prabowo ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah akan memperkuat penegakan hukum di sektor pertambangan, sekaligus menutup celah kebocoran penerimaan negara akibat praktik curang yang telah berlangsung bertahun-tahun. (aag)
Load more