Ramai Isu Lavender Marriage, Begini Penjelasan Lengkap Fenomena Pernikahan Hanya ‘Kedok’
- Freepik
Jakarta, tvOnenews.com - Nama Irish Bella sempat terseret dalam rumor lavender marriage setelah unggahannya bersama sang suami, Haldy Sabri, ramai dibicarakan publik.
Dalam video di kanal YouTube HAS Creative, Irish menanggapi gosip tersebut dengan santai dan menyebutnya hanya kesalahpahaman lucu. “Kami malah tertawa waktu dengar isu itu,” ujarnya.
Meski klarifikasi telah disampaikan, perbincangan soal lavender marriage kembali mencuat di jagat maya. Banyak warganet penasaran, apa sebenarnya makna dari istilah ini dan mengapa bisa terjadi di dunia nyata?
Apa Itu Lavender Marriage?
Lavender marriage adalah pernikahan antara pria dan wanita yang dilakukan bukan karena cinta, melainkan untuk menutupi orientasi seksual non-heteroseksual salah satu atau kedua pihak. Pernikahan semacam ini sering terjadi karena tekanan sosial, ekspektasi keluarga, atau demi menjaga reputasi di mata publik.
Secara historis, istilah ini muncul pada era 1920-an di Hollywood. Kala itu, studio film besar mengatur pernikahan palsu bagi aktor dan aktris yang memiliki orientasi seksual berbeda dari norma heteroseksual. Tujuannya sederhana — agar karier mereka tetap aman dari stigma sosial dan ancaman hukum.
Kata lavender sendiri memiliki makna simbolis. Warna ini sudah lama dikaitkan dengan komunitas LGBTQ+ dan menjadi bagian dari simbol identitas queer. Karena itu, istilah “lavender marriage” digunakan untuk menggambarkan hubungan yang menjadi “topeng sosial” demi memenuhi norma masyarakat.
Mengapa Lavender Marriage Terjadi?
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Dalam banyak kasus, lavender marriage dipicu oleh tekanan keluarga yang mengharuskan seseorang menikah pada usia tertentu atau mempertahankan kehormatan keluarga.
Di kalangan pesohor atau publik figur, alasan utamanya sering kali terkait dengan citra dan karier. Bagi selebritas, reputasi adalah aset penting. Mereka khawatir orientasi seksual yang berbeda dapat menurunkan popularitas atau membuat kontrak kerja terhenti. Karena itu, pernikahan “formal” dengan lawan jenis kerap dipilih untuk meredam sorotan publik.
Selain tekanan sosial, lavender marriage juga menjadi cara sebagian orang untuk menghindari diskriminasi. Di negara yang belum menerima keberagaman orientasi seksual secara terbuka, hidup dalam “kedok” dianggap lebih aman daripada harus menghadapi stigma masyarakat.
Dampak Lavender Marriage
Meski tampak harmonis di luar, pelaku lavender marriage sering kali menyimpan beban psikologis berat. Mereka harus berpura-pura menjalani kehidupan rumah tangga normal sambil menekan identitas diri yang sebenarnya. Kondisi ini dapat memicu stres, kecemasan, hingga depresi jangka panjang.
Tidak jarang pula pasangan dalam pernikahan seperti ini akhirnya memiliki anak karena tekanan keluarga. Hal tersebut justru memperbesar beban emosional karena hubungan tidak dilandasi cinta sejati. Akibatnya, dampak psikologis tidak hanya dirasakan pasangan, tetapi juga anak yang tumbuh di dalamnya.
Masih Terjadi di Masa Kini
Meski dunia semakin terbuka terhadap keberagaman, praktik lavender marriage masih terjadi di beberapa negara, terutama yang memiliki pandangan konservatif. Di era media sosial, isu semacam ini juga kerap muncul karena publik mudah menilai dari potongan video atau gestur yang viral.
Fenomena lavender marriage menjadi pengingat bahwa tekanan sosial dan norma heteronormatif masih memengaruhi cara seseorang menjalani hidup pribadi. Di tengah kemajuan zaman, kebebasan identitas seharusnya bisa diterima tanpa harus bersembunyi di balik pernikahan semu. (nsp)
Load more