Soal Kasus Korupsi Proyek Satelit Kemhan, Kuasa Hukum Leonardi Sebut Kliennya Justru Minta Kontrak Navayo Dibatalkan
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Penetapan tersangka Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi dalam kasus dugaan korupsi proyek satelit orbit 123 bujur Timur oleh Kejaksaan Agung, kembali direspons oleh kubu yang bersangkutan.
Tim kuasa hukum Leonardi, yakni Rinto Maha dan Laksamana Muda TNI (Purn) Surya Wiranto menyebut proses hukum yang berjalan saat ini sarat dengan disinformasi dan kriminalisasi.
“Kami tegaskan, fakta hukum menunjukkan bahwa seratus rupiah pun belum pernah dibayarkan oleh Kementerian Pertahanan kepada Navayo International AG,” tegas kuasa hukum Leonardi, Rinto Maha, dalam keterangan yang diterima pada Sabtu (4/10/2025).
Menurutnya Rinto, seluruh tuduhan bahwa negara dirugikan hingga ratusan miliar rupiah tidak berdasar. Rinto mengutip hasil audit BPKP tanggal 12 Agustus 2022 yang justru menyebut tagihan senilai USD16 juta dari Navayo belum pernah dibayarkan.
“Seluruh klaim kerugian negara bersifat potensi (potential loss), bukan kerugian nyata (actual loss),” tegasnya.
Leonardi Disebut Hanya PPK dan Tak Punya Kewenangan
Leonardi ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menandatangani kontrak pengadaan satelit dengan CEO Navayo pada 2016.
Namun kuasa hukum menegaskan bahwa Leonardi hanya bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan strategis.
“Klien kami, dalam kapasitasnya sebagai PPK, hanya menjalankan fungsi administratif sesuai perintah atasan dan garis komando struktural, tanpa membuat keputusan substantif independen,” ujar Laksda (Purn) TNI Surya Wiranto.
Ia menilai, menjadikan PPK sebagai pihak yang paling bertanggung jawab merupakan bentuk penyimpangan besar dalam prinsip pertanggungjawaban hukum.
“Dalam pengadaan barang nasional atau negara, sub sistemnya tentu kementerian, dalam hal ini Kemhan. Maka pemegang anggaran atau Menhan adalah yang paling bertanggung jawab atas project ini,” jelasnya.
“Apalagi ini sifatnya proyek pertahanan nasional, maka dilakukannya dengan penunjukkan langsung oleh pejabat berwenang. PPK tidak punya kewenangan keputusan,” tambah Laksda (Purn) TNI Surya Wiranto.
Tak hanya membantah tuduhan memperkaya diri, tim kuasa hukum menyebut Leonardi bahkan sempat meminta agar kontrak dengan Navayo dihentikan.
“Pada awal 2017, klien kami justru bersurat ke Navayo untuk menghentikan pengiriman barang karena struktur pelaksanaan belum lengkap, serta menginisiasi adendum kontrak,” jelas Rinto.
Ia menambahkan Leonardi bahkan sempat menolak menandatangani kontrak sebelum anggaran DIPA diterbitkan, sehingga tidak ada unsur niat jahat.
“Fakta bahwa Leonardi menolak menandatangani kontrak sebelum DIPA turun membuktikan bahwa tidak ada mens rea untuk menyalahgunakan wewenang,” ujarnya.
Dengan sederet fakta tersebut, kuasa hukum menyimpulkan bahwa penetapan tersangka terhadap Leonardi adalah bentuk kriminalisasi.
“Maka, menyimpulkan adanya ‘pengadaan palsu’ atau ‘invoice palsu’ tanpa adanya pembayaran adalah bentuk kriminalisasi berbasis asumsi,” tutup Rinto.
Latar belakang kasus
Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek satelit Kementerian Pertahanan.
Mereka adalah eks Kepala Badan Sarana Pertahanan (Baranahan) Kemhan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, Anthony Thomas Van Der Hayden selaku perantara, serta CEO Navayo International AG, Gabor Kuti.
Kasus ini mencuat setelah Leonardi selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) menandatangani kontrak dengan Navayo International AG terkait pengadaan terminal pengguna jasa dan peralatan pendukung, melalui perjanjian bertajuk Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment.
Kontrak tersebut diteken pada 1 Juli 2016 dengan nilai awal USD34.194.300, sebelum kemudian direvisi menjadi USD 29.900.000.
Dalam prosesnya Navayo disebut sebagai pihak yang direkomendasikan langsung oleh tersangka lain yakni Anthony Thomas Van Der Hayden.
Namun penandatanganan kontrak itu diduga dilakukan sebelum anggaran tersedia, bahkan tanpa melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa sebagaimana diatur dalam aturan pemerintah.
Atas perbuatannya, ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 atau Pasal 8 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 KUHP. (rpi)
Load more