Terungkap Sudah Desas-desus Alasan Soeharto Tak Diculik di Tragedi G30S PKI, sementara Jenderal Lain Meregang Nyawa
- Wikipedia
Jakarta, tvOnenews.com - Peran Presiden ke-2 RI, Soeharto di Tragedi G30S PKI sangat krusial.
Saat peristiwa G30S PKI menggila pada 30 September hingga 1 Oktober 1965, status Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Soeharto kala itu sangat getol membentuk pasukan penumpasan Gerakan 30 September 1965 oleh sekelompok pemuda PKI.
Hal ini mengingat G30S PKI ingin mengkudeta atau menggulingkan pemerintahan di era kekuasaan Presiden ke-1 RI, Ir. Soekarno.
G30S PKI juga ingin mengubah sistem pemerintah di Indonesia menggunakan ideologi komunis.
Tentu saja, alasan Soeharto tidak menjadi korban penculikan hingga pembunuhan oleh PKI menimbulkan banyak pertanyaan dari publik.
Pertanyaan sederhana yang sering muncul hingga saat ini, "Mengapa Soeharto tidak ikut diculik dan dibunuh PKI daripada para jenderal lainnya?".
- Kolase Tim tvOnenews
Berbagai pertanyaan timbul karena ada teori bahwa sosok Soeharto diduga punya peran di balik insiden Gerakan 30 September. Apakah benar?
Soeharto kala itu memimpin pemerintah Orde Baru. Ia mengerahkan penyiaran ke seluruh sekolah di Indonesia.
Tujuannya ingin menegaskan kelompok PKI sebagai dalang atau pelaku utama tragedi yang mengubur tujuh Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Berbagai pendapat mulai bermunculan, termasuk spekulasi PKI tidak bisa disalahkan secara tunggal dalam peristiwa pembantaian para jenderal.
Hal paling mencuat terkait dalang tragedi G30S PKI karena pembentukan Dewan Jenderal, mereka ingin menurunkan Presiden Soekarno.
Merujuk dari buku Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI karya Peter Kasenda, tulisan Peter mengarah pada simpatisan PKI dari militer memberikan informasi dari PKI.
Kebetulan kondisi militer di Indonesia mengalami pembagian beberapa kekuatan pada 1965, sehingga terpecah karena ingin memperoleh kekuasaan.
Tak ayal, ada orang militer yang membentuk partai politik, simpatisan PKI, dan lain-lain.
Usut punya usut, mayoritas yang menduduki kursi dewan dan pejabat ternyata dari para kader PKI, tetapi sebagian lainnya menolak keberadaan mereka.
Indonesia juga saat itu ikut mengalami dampak setelah berakhirnya Perang Dunia II pada 1945, ada kubu paham ideologi Uni Soviet dan kubu Amerika Serikat.
Pembentukan Dewan Jenderal diyakini sangat condong ke Amerika Serikat yang lebih suka paham kapitalis. Tak heran mereka ingin mengkudeta Presiden ke-1 RI.
Beruntungnya Soekarno masih memiliki perwira militer yang setia, sehingga mereka berupaya menggagalkan tujuan Dewan Jenderal.
Ada lima perwira militer yang didukung Kepala Biro Chusus (BC) PKI, Sjam Kamaruzaman.
Mereka adalah sosok Letkol Untung, Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa, Komandan Garnisun Kodam Jaya, Kolonel Abdul Latief, serta Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim, Mayor Sujono.
Pada akhirnya mereka menjadi simpatisan PKI, bahkan sudah punya upaya melakukan penculikan para jenderal untuk dibawa ke hadapan Presiden Soekarno.
Alih-alih sukses, rencana penculikan mengalami kegagalan karena para jenderal terbunuh. Ini menunjukkan persiapan menculik mereka tidak sempurna.
Pertanyaannya ke mana Soeharto saat itu?
Merujuk dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010) karya Julius Pour, Kolonel Abdul Latief pun memberikan kesaksian kenapa sang Pangkostrad tidak diculik simpatisan pro PKI.
"Karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," ungkap Kolonel Abdul Latief.
Apalagi, sebelum penculikan berlangsung, Abdul Latief melaporkan rencana ini lantaran Soeharto sudah mengisi posisi sebagai Pangkostrad.
Nahasnya Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat tidak menjawab laporan terkait langkah dari Latief.
Latief semakin was-was Dewan Jenderal akan dikudeta mengingat rencana ini sudah tercium olehnya.
Latief berspekulasi informasi tujuan pencegahan kudeta oleh Dewan Jenderal juga tidak ditanggapi serius oleh Soeharto.
Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto tidak bisa membantah sebelum insiden G30S PKI, ia bersua dengan Kolonel Abdul Latief.
Pertemuan antara Soeharto dan Latief berlangsung di RSPAD Gatot Subroto pada 30 September 1965 malam.
Merujuk dari otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto saat itu sedang merawat anak bungsunya Hutomo Mandala Putra biasa disebut Tommy.
Soeharto pun mengungkapkan bahwa, dirinya tidak memperoleh informasi apa pun saat ditemui karena tak melakukan interaksi dengan Latief.
"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," ungkap Soeharto.
Seiring berjalannya waktu, ia dikenal pahlawan dalam Tragedi G30S PKI, itu terjadi setelah mendapat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada 11 Maret 1966.
Soeharto dan pasukannya pun menghabisi setidaknya sekitar 500 ribu nyawa diduga tergabung dalam PKI di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam kesaksiannya, Latief mengatakan, "Jadi siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto, yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?."
Latief melanjutkan ucapannya setelah dirinya dianggap telah dikhianati Soeharto. Ia menuturkan, "Ternyata sama sekali nggak pernah ada upaya menambah penjagaan. Sebaliknya, usai Peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S juga menghabisi ribuan rakyat yang sebenarnya nggak tahu apa pun, mereka bertiga setelah itu bareng-bareng menggulikan pemerintahan Presiden Soekarno."
Tiga sosok yang dimaksud Latief, antara lain Basuki Rachmat, Umar Wirahadikusumah, dan Soeharto..
(abs/hap)
Load more