Mengenal Algojo yang Menembak Mati DN Aidit di Tepi Sumur, Sempat Dengarkan Pidato Dedengkot PKI itu
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Algojo yang mengeksekusi Dipa Nusantara Aidit alias DN Aidit sempat mendengar ucapan pidato pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut.
Momen mencekam seorang algojo bernama Kolonel Jasir Hadibroto eksekusi mati DN Aidit di tepi sumur tercatat dalam sejarah peristiwa G30S PKI.
Diketahui, tragedi G30S PKI merupakan salah satu insiden yang menyedihkan di Indonesia, tujuh Pahlawan Revolusi menjadi dibunuh secara sadis.
Tujuh Pahlawan Revolusi yang tewas saat G30S PKI, di antaranya Jenderal Ahmad Yani, Letjen S. Parman, Letjen R. Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen DI Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.
Mereka menjadi korban penculikan dan pembunuhan oleh sekelompok pemuda PKI yang berdalih melindungi Presiden ke-1 RI, Ir. Soekarno.
Adapun jasad mereka ditemukan di sumur tua, tepatnya di Lubang Buaya, Jakarta Timur pada 3 Oktober 1965.
Kisah pembunuhan tujuh Pahlawan Revolusi ini selalu menarik, namun ada cerita lain yang patut dibahas yakni seperti apa sosok algojo mengeksekusi DN Aidit.
Jasir Hadibroto Penuhi Tugas dari Soeharto
- Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Lampung
Jasir Hadibroto merupakan salah satu sosok yang menewaskan DN Aidit, salah satu dedengkot G30S PKI.
Kisah mulanya Jasir Hadibroto mendapat jatah eksekusi mati pentolan PKI itu saat ingin angkat kaki dari Kisaran, Sumatera Utara.
Jasir dan pasukannya harus melakukan operati pendaratan di Malaysia, namun harus sirna karena mendapat perintah dari Mayjen Soeharto.
Jasir mau tak mau harus menuju Jakarta, mereka menggunakan kapal laut untuk tiba di Pelabuhan Tanjung Priok.
Jasir pun sampai ke Markas Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) setelah tiba di seberang Stasiun Gambir pada 13 Oktober 1965.
Jasir langsung membuat laporan kepada Mayjen Soeharto yang saat itu memerintah dirinya lantaran menjabat Panglima Kostrad.
Saat itu Jasir memboyong pasukan Brigade Infanteri IV/Diponegoro yang ditugaskan menuju Jawa Tengah.
Menariknya, Soeharto yang hanya modal menggunakan kaos oblong kebetulan lagi tiduran dan langsung dibangunkan Jasir.
Soeharto tiba-tiba menanyakan posisi Jasir saat meletusnya Peristiwa Madiun pada 1948.
Jasir mengaku tidak ada di sana, ia menegaskan tidak tergabung pada kelompok yang menentang kepemimpinan Panglima Siliwangi Kolonel Abdul Haris Nasution dan Hatta.
Merujuk buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang karya Julius Pour, Jasir kala itu menerima perintah menuju Wonosobo.
"Siap, Jenderal. Waktu saya baru saja menerima perintah hijrah dari Jawa Barat, kompi saya ditugaskan untuk menghadapi batalyon komunis di Wonosobo," kata Jasir saat menjawab perintah Soeharto.
Namun, Soeharto mempertegas perintahnya bahwa kondisi di Madiun tidak kondusif akibat pemberontakan kelompok muda PKI.
Soeharto berharap Jasir dan pasukannya menumpas PKI di Madiun, sebab DN Aidit mengerahkan anak buahnya berkeliaran di Jawa Tengah.
Jasir memenuhi tugasnya untuk mengetahui gerak-gerik Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan pasukannya.
Kolonel Sarwo dan anak buahnya kala itu bergerak menuju Jawa Tengah. Sontak, Soeharto bilang begini kepada Jasir, "Kamu saya perintahkan berangkat. Selesaikan!."
Jasir kebetulan memahami wilayah Jawa Tengah. Ia dan Soeharto pernah menjalani tugasnya sebagai komandan, apalagi mereka asli lahir di sana.
Saat Jasir dan pasukannya di Solo, ia terkejut Soeharto tiba-tiba datang untuk melakukan inspeksi basis PKI di Solo.
Tak heran, basis PKI di Solo dianggap memiliki anggota paling banyak dibandingkan daerah Jawa Tengah lainnya.
Mengacu pada buku Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun karya Nazaruddin Sjamsuddin dan G. Dwipayana, Jasir menceritakan saat Soeharto memantau kinerjanya di Solo.
"Waktu bertemu dengan saya, beliau tidak bertanya macam-macam. Yang ditanyakan beliau justru masalah-masalah logistik; soal makanan selalu menjadi perhatian utama beliau," jelas Jasir.
Kata Jasir, dari momen tersebut membuat dirinya sangat senang terhadap gaya kepemimpinan Soeharto sebagai Panglima Kostrad.
Apalagi, Soeharto dan Jasir pernah menjadi anak didik di militer Jepang, mereka pernah merasakan bagian Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA).
Lebih lanjut, Jasir membuat tulisan kepada Soeharto, dirinya ternyata memiliki rasa dendam terhadap PKI di Madiun pada 1948, ia pun tanpa muluk-muluk langsung menerima perintah sang pemimpin.
Militer langsung bergerak menuju pangkalan PKI di Solo dengan bantuan jaringan intelijen.
Usut punya usut, ia langsung mendapat informasi penting mengenai Dn Aidit yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PKI.
Jasir kebetulan dapat informasi Aidit memindahkan persembunyiannya di Kleco ke Samber.
Sontak, Jasir langsung menyuruh pasukannya untuk menghajar dedengkot PKI itu.
Aidit langsung dibawa ke kediaman anggota Serikat Buruh Kereta Api seusai berboncengan dengan intel Kostrad, Sri Harto.
Siapa sangka, upaya Aidit bersembunyi di dalam lemari diketahui pasukan Letnan Dua Ning Prajitno.
Jasir sangat berat saat Aidit meminta sesuatu agar dirinya digiring menemui Presiden Soekarno. Ia mengetahui targetnya pasti akan bebas.
Momen DN Aidit Pidato di Hadapan Jasir Hadibroto
- Kemendikbud
Jasir sebagai anak buah Soeharto membawa Aidit secara paksa ke markas Batalion Infanteri 444.
Kepada Suara Pembaruan (19/9/1998), Jasir mengatakan Aidit dibawa ke tepi sebuah sumur tua sebagai tempat dedengkot PKI itu dieksekusi mati.
Jasir mempersilakan Aidit mengucap seutah kata terakhirnya, tetapi pentolan G30S PKI ini menantang sang algojo.
"DN Aidit berteriak kepada saya, daripada saya ditangkap, lebih baik kalian bunuh saja," tutur Kolonel Jasir.
Tetapi, Aidit sempat menyampaikan pidato, namun tentara yang menyaksikan detik-detik kematiannya cuek mendengar ocehannya.
Jasir mengatakan, "Sebagai prajurit yang patuh dan penurut, langsung memenuhi permintaannya. Karena minta ditembak, ya saya kasih tembakan."
DN Aidit akhirnya terbunuh dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur tua tersebut pada 23 November 1965.
(hap)
Load more