Nangis Lihat Puncak Berubah Jadi Tempat Wisata, Dedi Mulyadi Cuma Pencitraan? Ade Armando Bilang…
- Kolase YouTube
tvOnenews.com - Nama Dedi Mulyadi kembali mencuat setelah momen dirinya menangis di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat viral di media sosial.
Dalam video yang tersebar luas, mantan Bupati Purwakarta tersebut terlihat menitikkan air mata saat menyaksikan kondisi kawasan Puncak yang kini berubah drastis akibat pembangunan berbagai fasilitas wisata.
Dalam klarifikasinya, Dedi Mulyadi menjelaskan alasan di balik tangisannya yang mengundang perhatian publik.
Ia menyebut bahwa gunung dan alam memiliki makna mendalam bagi masyarakat Sunda maupun Jawa.
“Karena bagi orang Sunda dan orang Jawa, gunung itu sesuatu yang sakral, gunung itu sesuatu yang dihormati,” ujar Dedi.
Dedi juga menyampaikan bahwa gunung adalah sumber kehidupan.
Tradisi seperti tumpeng dalam budaya Sunda dan Jawa menjadi simbol betapa pentingnya menjaga alam dan lingkungan.
Ketika gunung rusak demi keuntungan segelintir orang, ia merasa bahwa nilai-nilai luhur tersebut telah diinjak-injak.
“Merusak gunung dan hutan adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa martabatnya sebagai orang Sunda turut direndahkan ketika gunung dijadikan objek eksploitasi semata.
Namun, momen haru tersebut tidak diterima begitu saja oleh sebagian kalangan.
Beberapa pengamat menilai bahwa tangisan Dedi Mulyadi hanyalah bagian dari strategi pencitraan.
Salah satunya datang dari pegiat media sosial Eko Kuntadhi yang secara blak-blakan membandingkan aksi Dedi dengan konten YouTube Baim Wong.
“Sebagai pegiat media sosial, kita pasti terhibur dengan channel YouTube-nya Kang Dedi. Agak mirip-mirip Baim Wong, ada nangis-nangisnya. Itu hiburan buat kita,” ujar Eko Kuntadhi dalam program Catatan Demokrasi TV One.
Namun, ia mengingatkan bahwa seorang pemimpin publik sekelas gubernur tidak seharusnya hanya menyuguhkan tontonan yang menyerupai konten hiburan.
Eko juga menyoroti langkah Dedi yang membongkar sebuah taman hiburan di kawasan Puncak dengan dalih sebagai penyebab banjir.
Ia mengingatkan bahwa penyebab banjir di kawasan tersebut tidak hanya karena satu gedung atau satu bangunan saja.
"Yang dibutuhkan adalah penataan kawasan Puncak. Kalau itu tidak dilakukan, maka ini jelas pencitraan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Eko menyatakan bahwa untuk bisa disebut bukan pencitraan, tindakan seperti itu haruslah konsisten dan berkelanjutan.
Jika tidak, maka akan dianggap sekadar pertunjukan sesaat yang kemudian dilupakan publik.
“Kalau cuma show sebentar lalu lupa, lalu besok Bogor banjir lagi, maka ya itu pencitraan,” ucap Eko.
Di sisi lain, akademisi sekaligus tokoh media, Ade Armando, memiliki pandangan yang berbeda.
Menurut Ade, Dedi Mulyadi adalah figur yang memiliki pengalaman panjang di dunia politik dan pemerintahan.
Ia menilai Dedi bukan tipe pemimpin yang melakukan gebrakan tanpa dasar yang jelas.
“Saya melihat Kang Dedi ini adalah orang yang sudah punya asam garam sebagai pejabat publik. Sebelum jadi bupati, dia adalah wakil bupati. Dia dua periode jadi bupati, lalu sekarang jadi anggota DPR dan mencalonkan diri jadi gubernur,” kata Ade.
Ade juga menilai bahwa Indonesia saat ini membutuhkan lebih banyak pemimpin seperti Dedi Mulyadi.
"Saya merasa bahwa Kang Dedi adalah tipe pemimpin yang dibutuhkan Indonesia. Saya membayangkan kalau saja daerah lain punya pemimpin seperti beliau, pasti banyak hal yang bisa diperbaiki,” ujarnya.
Menanggapi anggapan soal pencitraan, Ade mengatakan bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar dalam dunia politik.
Namun, menurutnya, hal yang lebih penting adalah apakah tindakan tersebut membawa perubahan atau tidak.
“Kang Dedi itu levelnya tanpa basa-basi. Apakah itu pencitraan atau bukan, itu soal lain,” pungkasnya. (adk)
Load more