Semrawut Regulasi Tata Niaga Timah di Bangka Belitung Lemahkan Ekonomi Masyarakat
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Masyarakat Bangka Belitung mengakui adanya dampak ekonomi yang dirasakan usai semrawutnya tata niaga timah yang terjadi belakangan ini.
Hal itu diungkapkan dalam diskusi yang digelar Ikatan Alumni Universitas Bangka Belitung bertajuk 'Seminar Dampak Hukum, Sosial dan Ekonomi Bagi Masyarakat Bangka Belitung Akibat Perkara Korupsi Tata Niaga Timah Di Wilayah IUP PT. Timah Tbk, Tahun 2015-2022'.
Diskusi tersebut turut berfokus terhadap lemahnya perekonomian Bangka Belitung pasca bergulirnya kasus korupsi tata niaga timah senilai Rp300 triliun.
Ketua pelaksana diskusi, Kevin Samuel Walker Sembiring mengatakan probelamatik yang sampai saat ini belum mampu diselesaikan pemerintah pusat atau pun daerah adalah banyaknya penambangan liar yang dilakukan masyarakat di dalam IUP PT. Timah Tbk baik di dalam maupun non kawasan hutan.
“Polemik tata niaga timah di Bangka Belitung akibat timah illegal telah jadi permasalahan sebelum kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT. Timah Tbk terjadi dan hal ini telah menjadi perhatian Presiden RI, Joko Widodo saat itu,” kata Kevin kepada awak media, Jakarta, Sabtu (15/2/2025).
Kevin menuturkan jika melansir website ESDM kala itu negara disebut kehilangan pendapatan sebesar Rp58,080 triliun.
Karenanya, kata Kevin, kala itu Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya tata kelola timah agar ekspor ilegal berkurang serta rakyat menjadi terlindungi.
“Pada tahun 2018, PT Timah menggandeng 5 perusahaan smelter lokal dengan perjanjian sewa menyewa untuk pemurnian dan penglogaman sesuai dengan cita-cita Presiden Joko Widodo. Dan PT. Timah Tbk benar-benar menjadi pemasok timah No. 1 di dunia setelah Cina, dan dari kerjasama ini telah memberikan pemasukkan kepada negara selama 4 tahun yakni tahun 2018 pemasukan negara diberikan PT Timah berkisar Rp818,7 miliar, kemudian tahun 2019 (Rp 1,2 triliun), tahun 2020 (Rp677,9 miliar) dan tahun 2021 (Rp776,657 mililar)," ujarnya.
Kevin menjelaskan permasalahan semakin semrawut karena tak ada regulasi yang jelas terkait pertambangan timah rakyat dapat bermitra dengan PT. Timah Tbk.
Ia menjelaskan penyidik Kejaksaan Agung kemudian menjerat kelima smelter tersebut dengan tindak pidana korupsi.
"Bahkan ada pula kerugian keuangan negara karena kerusakan lingkungan yang dihitung oleh Prof Bambang ini sebesar Rp 271,069 triliun. Proses hukum dalam perkara ini seluruhnya telah divonis di persidangan," kata Kevin.
"Sejak kasus ini bergulir dampak negatif bagi masyarakat Provinsi Bangka Belitung dari aspek hukum, sosial dan ekonomi terus dirasakan, oleh karenanya kami menggelar untuk memberikan gambaran dari akademisi, ahli, dan tokoh masyarakat agar dapat menjadi masukkan yang berguna bagi semua kalangan,” sambungnya.
Ia menuturkan beberapa perspektif disoroti dalam seminar ini salah satunya perspektif hukum.
Pihaknya menyorot kepastian hukum atas regulasi terkait penambangan rakyat agar dapat bermitra dengan perusahaan BUMN dan swasta hingga kerugian lingkungan hidup yang masuk sebagai elemen kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi.
Sementara dari perspektif ekonomi, Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Bangka Belitung (FEB UBB), Reniati mengatakan pemerintah daerah dapat mengambil langkah konkret terkait permasalahan perekonomian lokal dan nasional, perubahan pola investasi dan ketidakpastian pasar, serta strategi pemulihan ekonomi bagi masyarakat.
Sedangkan dari perspektif statistik membahas data empiris mengenai perubahan kondisi sosial ekonomi pasca perkara korupsi tata niaga timah, tren pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung sebelum dan sesudah kasus tersebut muncul.
"Memang tak bisa dipungkiri bahwa pengaruhnya sangat signifikan. Karena fokus di Babel ini adalah industri pengolahan timah, maka terhentinya kegiatan ini berdampak pada perdagangan dan lain-lain," ujar Reniati.
Untuk mengatasi hal ini, Reniati menyatakan pemerintah pusat harus segera menentukan arah tata kelola timah Bangka ini mau seperti apa.
"Kalau mau dihilirisasi, maka harus jelas hilirisasinya seperti apa? Jangan biarkan masyarakat jadi korban," ujarnya.
Sementara itu, Statistisi Ahli Madya BPS Prov. Kepulauan Bangka Belitung, Oktarizal mengakui mengamini pelemahan ekonomi tersebut.
"Karena masyarakat Babel sangat bergantung pada usaha pertambangan tersebut. Kalau saya bandingkan jumlah tabungan masyarakat sebelum dan sesudah mencuatnya kasus timah berubah drastis. Karena ketika mereka bekerja di industri timah mereka bisa memperoleh upah hingga Rp3,3 jutaan per bulan, tapi di sektor lain mereka hanya dapat 2-3 jutaan saja," kata Oktarizal.
Dia menambahkan terpuruknya sektor industri timah juga sangat berpengaruh pada sektor lain, salah satunya sektor otomotif.
"Pada tahun 2021 lalu, pertumbuhan kepemilikan motor atau mobil bisa mencapai dua digit, tapi setelah kasus ini mencuat malah pertumbuhannya jadi minus," ungkapnya. (raa)
Load more