Jakarta, tvOnenews.com - Komisi Yudisial (KY) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang mengusut dugaan pelanggaran etik oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Pasalnya, hakim-hakim tersebut menjadi pusat perhatian publik setelah menjatuhkan vonis ringan kepada Harvey Moeis, terdakwa kasus megakorupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyoroti hubungan antara pelanggaran etik hakim dengan kemungkinan pengubahan vonis Harvey.
Namun, ia menegaskan, keputusan tersebut tidak bisa serta-merta dianulir.
“Tidak bisa langsung (dianulir),” ujar Fickar seperti yang dikutip dari Metrotv, Senin, (6/1/2025).
Fickar menjelaskan, KY hanya fokus memeriksa perilaku hakim. Jika terbukti melanggar etik, sanksi maksimal berupa pemecatan bisa dijatuhkan.
Di sisi lain, Kejagung menyelidiki ranah pidana, khususnya jika ada indikasi suap atau pemerasan yang dilakukan oleh para hakim.
“Apabila hakim telah dinyatakan bersalah secara hukum dan vonisnya inkrah, maka ini bisa menjadi bukti baru untuk memperberat hukuman Harvey Moeis,” tambah Fickar.
Seperti diketahui, Majelis hakim yang dipimpin Eko Aryanto dengan anggota Suparman Nyompa, Eryusman, Jaini Basir, dan Mulyono hanya menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara kepada Harvey.
Padahal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung menuntut hukuman 12 tahun penjara.
Vonis ini memicu amarah publik, mengingat besarnya kerugian negara dalam kasus korupsi timah yang terjadi pada 2015-2022 di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah.
Tak tinggal diam, Kejagung langsung mengajukan banding untuk menuntut keadilan yang lebih tegas.
KY juga mengambil langkah investigasi terhadap dugaan pelanggaran etik hakim dengan menggandeng Kejagung.
Kerja sama ini mencakup pertukaran informasi hingga pemeriksaan saksi, termasuk potensi penyimpangan yang dilakukan oleh hakim.
“Penyelidikan ini akan berlanjut hingga hakimnya jika ada indikasi pelanggaran,” kata Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, Jumat, (3/1/2025). (aag)
Load more