Kepemimpinan Presiden Jokowi pada awalnya merespon berbagai keluhan masyarakat dan mengidentifikasi permasalahan pokok, seperti yang dilakukannya pada saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Seiring berjalannya waktu, banyak perubahan yang dapat dilihat baik itu sebuah kemajuan dan pembangunan maupun dalam kehidupan berpolitik.
“Presiden pada awalnya kurang mendapat dukungan politik, hingga akhirnya mampu merangkul berbagai partai politik dan organisasi, serta mendapat afirmasi terhadap program-program kerjanya. Pemerintahan yang tadinya merespon kritik publik yang banyak, menjadi pemerintahan yang kurang mendapat kritik,” jelas dia.
Namun, Wayan memiliki beberapa catatan terkait dengan ketidakpuasan juga dipengaruhi dari persepsi negatif yakni politik dinasti, kondisi ekonomi dan keuangan negara yang sulit dan semakin memburuk, serta kinerja penegakan hukum. Lanjut Wayan, beberapa data terait kepuasan atau tingkat kepercayaan publik tentu agak sedikit berbeda dengan pidato Jokowi yang menyampaikan beberapa keberhasilan di bidang politik, ekonomi, dan hukum.
“Presiden menguraikan secara singkat terhadap beberapa capaian kinerja Pemerintah seperti upaya dan strategi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (ekonomi hijau), digitalisasi, elektrifikasi, pembentukan legislasi untuk penataan regulasi, perlindungan dalam tindak pidana kekerasan seksual, dan peningkatan kualitas dan integritas lembaga peradilan dan sistem penegakan hukum,” katanya.
Akan tetapi, Wayan melihat capaian yang disampaikan Jokowi pada praktiknya memang agak kontras dengan apa yang terjadi di lapangan atau grassroots. Dukungan Pemerintah terhadap pembentukan undang-undang, seperti Omnibus Law (UU Cipta Kerja) belum memberikan hasil atau outcome yang nyata atau konkrit, misalnya dalam menyelesaikan permasalahan mafia pertanahan dan perizinan di bidang sumber daya alam.
Kata dia, reformasi kultur dan struktur belum sepenuhnya terjadi di dalam penyelenggaraan Pemerintahan sesuai dengan prinsip good governance. Menurutnya, penataan birokrasi berjalan tapi korupsi justru menjadi lebih buruk. Hal ini oleh publik terlihat dari kegagalan dalam program pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia, ditandai dengan terus menurunnya indeks persepsi korupsi Indonesia.
“Program “bersih-bersih” ini belum memberikan kontribusi nyata, malah kemudian terdapat persepsi bahwa penegakan hukum dan korupsi hanya menjadi alat pemerintah dalam melanggengkan kekuasaan dan kewenangan. Pembangunan Zona Integritas dan Zona wilayah bebas korupsi dan nepotisme, seolah hanya sebuah standarisasi di atas kertas. Hal ini ditandai dengan banyaknya petinggi atau pejabat yang tersangkut kasus korupsi yang kebetulan terjadi di tahun-tahun politik,” ungkapnya.
Load more