Jakarta, tvonenews.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengomentari film dokumenter yang sedang viral, Dirty Vote. Menurutnya, film tersebut tidak menempuh dua metode ilmiah dalam menghasilkan suatu kesimpulan.
Kekurangan tersebut, menurut Tito, membuat film dokumenter karya Dandhy Laksono ini hanya sebatas pembentukan opini.
Dua metode ilmiah itu, kata Tito, adalah congruent method (metode kongruen) dan tracing method (metode pelacakan). Tito Karnavian menjadi salah satu nama menteri yang disebut di dalam film dikaitkan dengan provinsi baru Papua.
"Saya lihat ini pemberitaan dalam bentuk documentary, tapi sebetulnya saya lihat adalah pembentukan opini dengan merangkai sejumlah peristiwa," ujar Tito saat menghadiri kegiatan Konvensi Nasional Media Massa dalam rangka Hari Pers Nasional di Jakarta, Senin (19/2/2024).
Dia menjelaskan metode kongruen adalah suatu upaya melihat sesuatu dan mengambil kesimpulan karena dianggap sama dan sebangun. Menurut Tito, metode tersebut ditempuh dalam film Dirty Vote tanpa melihat sebab dan akibat.
"Itu boleh, kalau kita ingin mengambil hipotesa. Sama dengan media, ketika membuat hipotesa boleh. Tapi kalau mau membuat tulisan yang betul-betul akurat, ya harus menempuh proses tracing," kata dia.
Adapun mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) itu mengatakan, petugas kepolisian sudah terbiasa menerapkan metode-metode semacam itu sebagai cara berpikir dalam proses investigasi.
Biasanya, petugas kepolisian melakukan metode sebab akibat dan pelacakan ketika terjadi peristiwa-peristiwa yang memerlukan perhatian.
Dia mengatakan metode kongruen tidak bisa dijadikan alasan pasti tanpa proses pelacakan. Jika ingin menentukan pelaku dan tersangka, ungkap Tito, perlu dilakukan proses pelacakan dan menjajaki semua sebab dan akibat.
Ia juga menyinggung soal namanya yang disebut dalam film dokumenter Dirty Vote. Tito menilai banyak hal yang perlu dikritisi terkait konten yang disajikan dalam film tersebut.
Oleh karena itu, menurut dia tudingan terkait namanya yang disebut berperan dalam pemenangan pasangan calon (paslon) tertentu karena adanya pemekaran provinsi di Pulau Papua, masih sebatas kongruen tanpa menempuh proses pelacakan.
Ia beralasan, provinsi di Pulau Papua yang disebutkan dalam film dilakukan sebelum adanya koalisi partai-partai dan pasangan calon untuk pemilu.
Pemekaran provinsi di Papua, menurut Tito juga bukan merupakan inisiatif pemerintah, melainkan usulan dari DPR dan aspirasi masyarakat.
"Tapi tiba-tiba dilompatkan bahwa pemekaran Papua itu dalam rangka untuk mempermudah paslon yang disiapkan pemerintah untuk memenuhi persyaratan 20 persen (suara) dari separuh provinsi, saya bilang itu terlalu jauh," kata dia lagi.
Load more