tvOnenews.com - Tak lepas dari ingatan, seorang anggota Polri, Brigadir J atau Novriansyah Yosua Hutabarat meninggal dalam kejadian yang tidak wajar.
Peristiwa yang terjadi satu tahun lalu ini mengakibatkan seorang ajudan dari Inspektur Jenderal terbunuh. Tanpa terduga, pelaku utama dalam kejadian ini yaitu atasannya sendiri, Ferdy Sambo.
Seorang perwira Polri berpangkat Irjen, Ferdy Sambo yang kini telah dipecat dari kepolisian karena kasus terbunuhnya Brigadir J ini tengah menjalani hukuman berupa penjara seumur hidup.
Sebelumnya, Ferdy Sambo telah diadili dan divonis mendapatkan hukuman pidana mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Ferdy Sambo saat mengikuti sidang atas kasus pembunuhan Brigadir J. (Tim tvOnenews - Julio Trisaputra)
Sebab Ferdy Sambo bersama sang istri, Putri Candrawathi menjadi dalang dari kasus tersebut, sehingga mereka mendapatkan hukuman terberat dibandingkan terdakwa lainnya.
Pengadilan Tinggi Jakarta menolak Banding mereka. Maka Ferdy Sambo mendapatkan vonis hukuman pidana mati. Sementara, Putri Candrawathi mendapatkan hukuman 20 tahun penjara
"Mengadili, menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain," sebut hakim ketua Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).
"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ferdy Sambo hukuman mati," imbuhnya.
Namun, pihaknya mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung (MA), dan mengabulkan permohonannya.
Oleh karena itu Majelis Hakim Mahkamah Agung meringankan hukuman Ferdy Sambo dari vonis mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan batal dihukum mati.
Jauh sebelum proses hukum di pengadilan berlangsung, jenazah Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dilakukan ekshumasi untuk kembali di autopsi, demi mendapatkan kebenaran tentang luka yang terdapat pada tubuh korban.
Seorang Ahli Forensik, dr Sumy Hastry Purwanti akhirnya menjawab saat muncul kepanikan sekaligus pertanyaan masyarakat, mengapa bagian organ tubuh yakni Otak berada di perut atau dada korban.
Seperti apa penjelasan dari dr Hastry mengenai hal tersebut, simak informasinya berikut ini.
Peti Jenazah Brigadir J di Kamar Jenazah Rumah Sakit Sungai Bahar. (Facebook Rohani Simanjuntak)
Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang terjadi di Duren Tiga, Jakarta Selatan membutuhkan penyelesaian dalam waktu yang cukup lama.
Dalam kasus ini bahkan korban sampai harus dilakukan autopsi sebanyak dua kali untuk mencari kebenaran, dengan melakukan ekshumasi terlebih dahulu.
Seorang Ahli Forensik, dr Sumy Hastry Purwanti mengatakan dirinya prihatin dengan kejadian tersebut. Ia pun merasa kasihan dengan dokter forensik yang telah bertugas dalam kasus pembunuhan berencana ini.
Sebab, sebagai seorang dokter forensik harus segera dan tidak dapat menunda melakukan autopsi terhadap jenazah yang terburu-buru oleh waktu. Jenazah yang ditunda pengerjaan autopsi-nya akan semakin sulit karena tubuh korban yang semakin membusuk.
“Kita kan kerja sewaktu-waktu dan pas jamnya kita kan tidak bisa menunda autopsi, karena apa berburu sama waktu kematian. Kalau semakin lama semakin susah semakin busuk. Nanti bingung ini dipukulin kah, ada kekerasan kah, ada memar kah, ada luka tembak apa seperti itu makanya segeralah dilakukan Dan saya yakin mereka kerja dengan baik dan benar,” ungkap dr Sumy Hastry Purwanti dalam tayangan Youtube VIVA.CO.ID.
Dokter perempuan ahli forensik Polri ini meyakini bahwa dokter yang bekerja pada saat itu sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Sebab seluruh proses yang dijalani harus didokumentasikan berupa foto dan video pada luka-luka di tubuh korban.
Sementara luka penganiayaan seperti yang dibicarakan oleh publik bukanlah dari sebuah penganiayaan, melainkan luka yang disebabkan oleh saat autopsi dan pasca autopsi. dr hastry mengungkapkan luka tersebut terjadi saat proses autopsi karena harus mengambil beberapa tindakan.
“itu memang luka pas autopsi atau pasca autopsi, karena ada tindakan untuk mengambil peluru yang di dalam tubuh tindakan untuk memasukkan selang formalin karena jenazah Mau dibawa keluar Pulau harus diawetkan,” ujarnya.
Dirinya meyakini bahwa rekannya yang bekerja saat itu sudah mengikuti sesuai prosedur yang ada.
dr Sumy Hastry ungkap kejanggalan pada autopsi Brigadir J. (Kolase tvOnenews)
Saat dilakukannya proses autopsi, beredar kabar bahwa beberapa organ tubuh Brigadir J berada tidak pada tempatnya, seperti otak Brigadir J yang berada di dalam perut.
Untuk itu, Kombes. Pol. Dr. dr. Sumy Hastry Purwanti, Sp.F., mengklarifikasi info yang beredar. Sebab, informasi tersebut sempat memicu spekulasi. Selain ditembak hingga tewas, Brigadir J juga dianiaya hingga beberapa organnya tidak lagi berada di tempat yang tepat.
“Jadi, memang, di dunia forensik, kalau kita udah buka kepala, kita awetkan. Kita pikir pasti nanti dibuka wajahnya, kalau ditaruh di rongga kepala, ada formalin, kan pedes semua. Makanya (otak) kita taruh di bagian dada atau perut,” jelasnya.
Ia menambahkan yang terpenting semua organnya telah dikembalikan kedalam tubuhnya.
“Yang penting (semua organnya) ada. Karena, kalau (kepala) nggak bisa nutup, nanti merembes formalinnya. Itu kan direndam formalin,” katanya.
Ia pun menegaskan bahwa seluruh proses yang dilakukan oleh dokter forensik termasuk saat autopsi dengan maksud memudahkan anggota keluarga agar dapat memastikan kondisi jenazah.
Namun, dokter forensik yang melakukan autopsi jenazah Brigadir J, tidak menemukan luka akibat terjadinya penganiayaan, hanya adanya luka bekas tembak.
Oleh karena itu, kedua tim dokter forensik, baik tim dokter forensik autopsi pertama maupun kedua memiliki hasil yang sama. (Ind/Kmr)
Load more