"Jadi begini, MKMK inikan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, jadi dia (Jimly) berbicara soal bagaimana Mahkamah ke depannya saja. Bukan mencampuri keberlakuan putusan yang telah diambil," ucapnya.
Menurut pria yang berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Hukum (FH) Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini, substasi dari keberadaan MKMK yang dipimpin Jimly hanya menyangkut etik para hakim MK.
"Sekali lagi saya ingatkan, putusan MK itu final dan mengikat sebagaimana yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jadi, Prof Jimly jangan mengurusi hal yang tidak substansi atas MKMK itu," tuturnya.
Dia pun mencontohkan, kasus yang dialami oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar yang dipecat akibat perkara tindak pidana korupsi.
"Apakah ketika Pak Akil dipecat karena perkaranya itu lantas putusan perkara yang dia tangani batal atau disidang ulang? Kan tidak. Sepengetahuan saya sampai hari ini putusan itu tetap berlaku," tandasnya.
Sebelumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re A mengenai batas usia pencapresan terus menuai polemik di ruang publik.
Terbaru, putusan yang keluar saat dikomandoi oleh Ketua MK, Anwar Usman itu berujung dibentuknya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) guna mengakhiri polemik di ruang publik.
Pembentukan MKMK yang dipimpin Prof. Jimly Asshidiqie dengan dua anggotanya, Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih ternyata tak serta merta menurunkan polemik publik atas putusan yang diajukan Mahasiswa dari Universitas Surakarta itu. (ito)
Load more