tvOnenews.com - Malam itu, 30 September 1965, Presiden Soekarno hadir dalam acara Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) yang diselenggarakan oleh Angkatan Darat dan Perhimpunan Insinyur Indonesia (PII).
AB Lapian, dalam buku "Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, Bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan, Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia" menulis,
“Setelah itu dia pergi meninggalkan acara yang baru berlangsung. Mungkin ada yang mengganggu pikiran.” tulis AB Lapian, mengutip kesaksian seorang peserta acara.
Foto: (kiri ke kanan) Jenderal Nasution, Presiden soekarno dan Mayjen Soeharto, tahun 1966. - Dok. Perpustakaan Nasional
Dalam pidato pendeknya malam itu, Presiden Soekarno mengakhirinya dengan cerita Mahabharata.
“Sekarang sudah hampir jam sebelas. Saya mau bercerita, sebuah kisah dari Mahabharata. Tentang Kresna yang diperintahkan ke pada Arjuna agar melakukan perang dengan Kurawa.
Adalah tugas seorang prajurit untuk berperang membela negerinya dan mempertahankannya. Memang benar, yang dihadapi adalah saudara sendiri. Tapi mereka ingin menghancurkan kerajaan Pandawa. Laksanakan tugasmu tanpa menghitung untung rugi!” tutup Sukarno.
"Acara selesai sekitar pukul 23.00. Sesudah itu Bung Karno pergi ke Istana Negara untuk mengganti pakaian kemudian berangkat menjemput Ibu Ratnasari Dewi yang sedang berada di Nirwana Supper Nightclub." ungkap AB Lapian.
Foto: Potret Presiden Soekarno dan Ratna Sari Dewi. (IG @kartikasoekarnofoundation)
Siasat Aidit Menjebak Sukarno
John Rossa dalam bukunya "Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto", diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, Januari 2008, menulis.
Pada malam 30 September itu, sebuah pertemuan penting diadakan di rumah pimpinan Biro Khusus PKI , Sjam Kamaruzaman di Jalan Salemba Tengah, Jatibuntu, Jakarta.
Di situ Aidit muncul untuk pertama kalinya sebagai Panglima Komando keseluruhan operasi yang dilaksanakan oleh PKI untuk menghancurkan para jenderal, didampingi oleh sekretarisnya Kusno dan anggota Biro Khusus PKI, Walujo.
"Sekitar pukul 10 malam. Aidit datang langsung dari Stadion Senayan, setelah di sana mendengar dengan mata kepala sendiri, Presiden memberikan isyarat rahasia di depan publik kepada Untung cs untuk jalan terus dengan gerakannya dengan mengutip Mahabharata tentang dharma, tugas mulia." tulis John Rossa.
Aidit menugaskan kepada Brigjen Suparjo, untuk segera menjemput Presiden Soekarno di Istana Negara pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 dan membawanya menuju ke rumah Susanto di kawasan Pangkalan Udara Halim.
Foto: Pemimpin Partai Komunis Indonesia DN Aidit (istimewa)
Dalam perhitungan Aidit, jika Soekarno dapat diamankan di rumah Susanto, maka ia dengan mudah akan menekan Soekarno untuk membuat sejumlah kesepakatan yang menguntungkan gerakan 30 September PKI.
Setelah pasukan dengan sandi pasopati yang dipimpin Letnan Doel Arif merampungkan tugasnya mengeksekusi pucuk pimpinan Angkatan Darat, pada pukul 6 pagi Suparjo kemudian bergerak ke Istana untuk menemui presiden Soekarno.
"Guna memuluskan akses Supardjo dalam menemui Presiden, Letkol Untung telah melakukan pengaturan dengan Kapten Suwarno dan Posko, untuk menghilangkan prosedur-prosedur keamanan normal istana." ungkap Rossa dalam bukunya.
Namun Suparjo tidak menemukan keberadaan Soekarno di Istana. Presiden Soekarno entah berada dimana, tidak diketahui pasti oleh Suparjo. Skenario "mengamankan" Bung Karno ke rumah Suyanto untuk melakukan sejumlah kesepakatan dengan Aidit gagal di pagi itu.
Dimana Presiden Soerkarno Berada?
AB Lapian, dalam "Malam Bencana Nasional" menulis, keadaan istana negara pada 1 Oktober 1965 pagi diliputi kegelisahan. Tidak ada yang tahu di mana Presiden berada.
"Kolonel Bambang Widjanarko, sebelum meninggalkan istana pukul 24.00 semalam, telah menyampaikan kepada Presiden acara untuk pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, yakni waktu minum kopi jam 07.00 Bung Karno akan menerima Waperdam Leimena dan Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani." ungkap Lapian.
Saat bertugas pagi hari sebagai inspektur upacara gladi resik peringatan HUT ABRI di lapangan parkir timur Senayan, Ajudan Presiden Soekarno, Kolonel Bambang, mendapat laporan tentang penembakan dan penculikan terhadap beberapa jenderal.
Bambang pun segera naik mobil menuju Istana. Sesampainya di Istana ia dihujani pertanyaan: “Bambang, Bapak ada di mana?”
“Segera saya bertindak menanyakan ke sana kemari. Kawal Pribadi yang berada di Istana saya tanyai apakah ada kontak dengan Pak Mangil, Komandan DKP, yang selalu berada dekat dengan BK." jelas Kolonel Bambang.
"Mereka menjawab tidak ada kontak, baik radio atau telepon. Segera saya telepon ke rumah Ibu Dewi di Jalan Gatot Subroto, BK tidak ada. Telepon ke Slipi, rumah Ibu Haryati, juga tidak ada. Terus terang pada saat itu dalam hati saya menjadi panik. Di mana BK berada?" lanjutnya.
Sementara itu, Anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Soekarno, AKBP Mangil, di kediamannya, menerima telepon dari Inspektur Polisi tingkat I Sardi, yang sedang mengawal Presiden di rumah kediaman Ny.Dewi Soekarno, bahwa hubungan telepon Istana diputus oleh kantor pusat atas perintah tentara yang menjaga kantor tersebut.
Foto: Potret Presiden Soekarno dan Ratna Sari Dewi. (IG @kartikasoekarnofoundation)
Mangil kemudian bergegas dan tiba pukul 05.45 pagi di Wisma Yaso, kediaman Dewi Sukarno. Ia membicarakan masalah pemutusan telepon dengan para perwira DKP dan juga dengan Mayor Suparto, Kepala Kendaraan Istana, yang sering bertindak sebagai supir pribadi Presiden.
Mangil juga mencermati sejumlah laporan tentang kondisi jalanan Ibu Kota Jakarta dan kawasan Istana Negara yang diblokade sejumlah pasukan, serta laporan tentang penembakan di rumah Jenderal Nasution oleh segerombolan bersenjata yang tak dikenal, yang berjumlah sekitar 50 orang.
"Kurang lebih pukul 06.30 pagi Presiden keluar kamar untuk pergi ke Istana. Beliau rupanya telah diberitahu tentang adanya penembakan di Jalan Teuku Umar sekitar tempat tinggal Dr. Leimena dan Jenderal Nasution, namun belum diketahui seluk-beluk peristiwanya." tulis Lapian.
AKBP Mangil dipanggil Presiden untuk dimintai penjelasan. Baiknya bagaimana, tinggal di sini dulu atau langsung ke Istana.
Mangil menyarankan sebaiknya Presiden Soekarno untuk sementara tinggal di Wisma Yaso, sambil menunggu laporan anggota DKP yang melakukan pengecekan kebenaran berita itu.
Dengan nada marah Presiden berkata, “Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00, sampai sekarang belum kamu ketahui dengan jelas?”
Akhirnya setelah berdikusi, Presiden Soekarno memutuskan untuk tetap menuju istana. Di depan mobil Presiden ada satu jip DKP yang dilengkapi dengan radio telepon Lorenz jarak jauh.
Foto: Presiden Soekarno menerima Batalyon 454 pada perayaan untuk veteran pembebasan Irian Barat di Istana Negara, 19 Januari 1963.(Dok.Wikipedia)
Mobil Presiden dikemudikan oleh Mayor Suparto dan di sampingnya duduk Sudarso yang sudah dilengkapi dengan mini-talkie untuk hubungan jarak dekat antara mobil Presiden dengan mobil Mangil yang berada di belakangnya.
Rombongan melaju dengan kecepatan sedang. Ketika sedang melewati jembatan Dukuh Atas, masuk laporan bahwa pasukan Angkatan Darat yang berada di sekitar Istana “terasa sangat mencurigakan”.
Rombongan diperintahkan Mangil berbelok ke Jalan Kebon Sirih, akan tetapi karena terlanjur melewati perempatan Kebon Sirih, rombongan baru belok di Jalan Budi Kemuliaan.
Iring-iringan mobil bergerak sangat lamban, kadang-kadang berhenti agak lama, sebab semua lalu lintas ke Merdeka Barat dialihkan ke jalan tersebut.
AKBP Mangil memutuskan untuk membawa Presiden ke Kebayoran Baru. Namun kemudian, ada kontak dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa, yang memerintahkan rombongan Presiden dibawa ke rumah Ny. Haryati di Grogol.
Pukul 07.00 Presiden Soekarno bersama pengawalnya tiba di Grogol. Kolonel Saelan melaporkan semua berita yang diterimanya dari Komisaris Besar Pol. Sumirat.
"Saelan minta agar Presiden sementara menunggu dulu, sambil mencari informasi untuk menentukan langkah-langkah berikutnya." tulis Lapian.
“Tetapi kita tidak bisa lama di sini”, kata Bung Karno, yang dijawab oleh Saelan bahwa “memang betul, Pak, dan sebagai alternatif kami akan mencari tempat lain.”
Setelah dirundingkan oleh Saelan, Mangil dan Letnan Suparto tentang cara menyelamatkan Presiden, diputuskan untuk pindah ke rumah di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, yang telah dipersiapkan oleh Mangil.
Tetapi menjelang pukul 08.30, Letkol Suparto yang ditugaskan untuk mencari hubungan dengan Panglima Kodam Jaya dan Panglima Angkatan Bersenjata, melaporkan bahwa dia telah mendapatkan kontak dengan Panglima AURI Omar Dhani yang berada di Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim.
Akhirnya Presiden Soekarno atas kehendak sendiri memutuskan pergi ke PAU Halim. Rombongan Presiden berangkat jam 09.00.
Dalam perjalanan ke Halim, di dalam mobil VW Kodok, Presiden Soekarno duduk di belakang, didampingi Brigjen Soenario, sedangkan Inspektur Polisi I Sudarso (anggota DKP), duduk di samping Letkol Soeparto yang bertindak sebagai pengemudi.
Perwira menengah yang menyertai Presiden Soekarno ke Halim adalah Kol. CPM. Maulwi Saelan, Kombes Pol. Sumirat sebagai ajudan, AKBP Mangil dan Letkol Suparto.
Presiden berangkat dari Grogol melalui jembatan Semanggi- Jalan Gatot Subroto-Jakarta By Pass-Cililitan, lalu masuk PAU Halim, tiba sekitar setengah jam kemudian. (Buz)
Ikuti terus perkembangan berita lainnya melalui kanal YouTube tvOneNews:
Load more