“Gak juga (takut dan jijik), jadi ya saya juga kadang gak ngerti dengan diri saya. Itu sesuatu pemberian dari Tuhan ya, saya tidak merasakan apa-apa,” ungkap dr Hastry.
Ia menyampaikan bahwa selama ini dirinya hanya berusaha menjalankan tugas dengan baik. Kala itu, dr Sumy Hastry sempat dirundung dokter lain karena menaruh titik tembak pada napi untuk dieksekusi.
“Saya hanya bekerja nih harus saya tolong, sama aja saya juga dibully waktu jadi tim menaruh titik tempel di napi mau ditembak mati. Kan gak ada dokter yang mau,” kenangnya.
Jam terbang yang tinggi membuat wanita kelahiran 1970 bisa mendeteksi waktu kematian jenazah hanya berdasarkan bau.
“Aku membaui jenazah ini meninggal hari keberapa itu bisa tahu karena terbiasa, walaupun gak ada ilmiahnya” pungkas dr Sumy Hastry.
“Aku langsung ngomong penyidik, ‘mas ini meninggalnya udah 6 hari nih’. Penyidik butuh banget waktu kematian untuk cari alibi kan,” lanjutnya.
Sang ahli forensik mengatakan dirinya tak pernah memakai masker saat melakukan autopsi jenazah. Hal ini bisa memudahkan dirinya untuk mengetahui penyebab kematian.
“Saking biasanya aku gak pakai masker, jadi ya udah saya hirup dekat. Kalau yang tenggelam, korban AirAsia ketemu di laut, Sukhoi. Oh, ini baunya karena jatuh, ledakan, kebakar, kayak mercon kemarin. Terus keracunan, bau-baunya juga beda, semua karena insting dari pengalaman,” jelas dr Hastry.
Load more