Saya tak ingat benar, sejak kapan dan bagaimana tulisan pada stiker hitam itu menempel pada kaca pintu ruang kerja saya. Yang pasti, kalimat yang tertulis, bagi saya, seperti mantra. Ia memberi afirmasi pada kegiatan sehari hari saya, membuat saya fokus dengan apa yang tengah saya kerjakan
Kalimatnya sederhana, cenderung riang, tidak bombas layaknya motto atau kata motivasi. Tidak juga berteriak seperti slogan: “Cep, enjoy the pressure”. Ditempel persis di atas gagang pintu, setiap pagi hari memulai pekerjaan, saya seperti disapa dengan kalimat itu: bahwa pikiran harus ditertibkan dengan fokus, tekanan tekanan akan menjadi nikmat.
Bahkan, saya seringkali berpikir, apa jadinya hidup saya jika tanpa tekanan.
Barangkali saya tak akan meraih hidup bermakna tanpa tekanan. Di mana hidup yang tak ada tekanan? Bahkan setelah kembali ke rumah, saya harus masih menghadapi persoalan persoalan kewargaan yang harus segera dicari solusinya. Maklum, sejak beberapa tahun ke belakang, saya adalah 'pejabat pemerintah", meski berada pada hierarki terbawah: Ketua RW.
Saya ingat, saat masih kecil, sebenarnya “daya juang” sudah ditanamkan almarhum Bapak. Dengan caranya, ia memberikan tekanan pada anak lelakinya yang kini petuahnya berjejak panjang. “Jika Bapak hanya seorang pedagang dedak (ampas beras) pun, kamu harus jadi pedagang beras,” begitu suatu ketika Bapak berujar pada saya di beranda rumah.
Wakil Pemimpin Redaksi tvOnenews.com, Ecep S Yasa (Istimewa)
Kini saya terlanjur mencintai tekanan setelah menekuni olahraga lari. Sebagai pelari amatir, saya justru “tertantang" mengikuti ajang lari marathon. Setiap pelari rekreasi akan menemui titik titik kritisnya saat mengikuti full marathon (42 kilometer), saat rasa sakit, kelelahan, cuaca, jarak seperti tak tertaklukan.
Di London Marathon, beberapa bulan lalu saya nyaris menyerah.
Setelah pistol star menyalak, cuaca bersahabat, euforia di garis start, melihat pelari lain tiba-tiba berlari dengan gigi empat, saya terprovokasi. Pada kilometer awal saya langsung menggeber tubuh untuk berlari dengan kecepatan maksimal.
Saya kehilangan fokus.
Hasilnya, kaki seperti tiba tiba mengunci. Rasa sakit perlahan lahan merambat dari plantar kaki, hingga paha. Seperti ada balok balok kayu yang mengikat di kaki saya kuat kuat hingga tak bisa digerakan. Padahal jarak masih 20 kilometer lebih.
Saya tersungkur di arena lomba.
Saya berpikir untuk DNF (did not finish), meninggalkan gelanggang tak menyelesaikan perlombaan hingga garis finish.
Rasa sakit ini seperti tak bisa dikuasai, jarak masih panjang, waktu yang tersisa untuk menyelesaikan perlombaan semakin sedikit. tak ada harapan. Otak saya yang biasanya fokus kini seperti ladang ilalang yang dipenuhi semak belukar. Saya membiarkan benalu menghalangi fokus dan target saya.
Ketika saya terdiam, menjaga nafas, melihat sekeliling dan mengkoordinasi pikiran dan tubuh kembali, fokus mulai tumbuh. Saya harus menikmati rasa sakit dan tekanan ini.
Seperti kata novelis Jepang favorit saya yang selalu jadi kandidat penerima Nobel, Haruki Murakami, dalam lari jarak jauh satu satunya lawan yang harus saya kalahkan adalah diri saya sendiri.
“Rasa sakit itu tak terelakan, penderitaan ini adalah pilihan,” begitu cara penulis yang juga marathoner itu memberi afirmasi pada tubuhnya. Iya, setiap orang memiliki kata sakti, setiap kita memiliki mantranya sendiri sendiri: “Cep, enjoy the pressure”.
Wakil Pemimpin Redaksi tvOnenews.com, Ecep S Yasa (Istimewa)
Afirmasi otak pada tubuh ternyata berjalan baik. Perlahan-lahan rasa sakit itu hilang, saya tak tahu kenapa itu bisa terjadi. Saya hanya mencoba terus menggerakan kaki. Selama kaki bisa digerakan saya akan terus maju ke depan.
Ternyata koordinasi tubuh mulai kembali normal. Perlahan form lari saya kembali, saya mulai bisa berlari lebih cepat. Fokus pada finish, ternyata menertibkan pikiran dan pada gilirannya pikiran mengkoordinasi tubuh untuk melakukan apa yang diperintahkan pikiran. Tubuh dan Pikiran bekerja melahirkan spirit, persistensi, daya juang.
Saya ternyata masih bisa menyelesaikan salah satu dari enam lomba lari bergengsi di dunia ini dengan catatan waktu yang tak terlampau buruk.
Ketika melihat perjuangan Garuda Muda menaklukan Thailand dalam drama sepanjang hampir dua jam pada laga puncak sepak bola SEA Games, Kamboja, saya seperti melihat kembali nilai nilai persisten, daya juang, kegigihan, keyakinan serupa.
Sejak awal Rizki Ridho dan kawan kawan bermain sangat tenang.
Mereka seperti sibuk untuk mengembangkan permainannya sendiri, tak hirau dengan berbagai provokasi dari lawan. Kehendak untuk terbawa irama permainan lawan bukan tak muncul, tapi “beruntung” tim ini memiliki Indra Sjafri yang bagai alter ego-nya pemain, selalu memberi aba-aba untuk skuadnya bermain tenang, fokus dan percaya pada kekuatan diri.
Kedua tangan pelatih kelahiran Lubuk Nyiur, Sumatera Barat ini selalu melambai lambai dari atas ke bawah, meminta pemainnya tak terpancing provokasi ketika tempo permainan meninggi.
Bahkan di bangku official pertandingan berkali kali terjadi kisruh yang sebenarnya bisa mengganggu emosi para pemain.
Persisten dan daya juang itu terbukti mengeluarkan Garuda Muda dari tekanan tekanan pada saat saat paling krusial, ketika Thailand menyamakan kedudukan 2-2 di menit injury time dan memaksa laga dilanjutkan pada babak perpanjangan waktu.
Kembali fokus dan kegigihan menjadi kunci di babak tambahan.
Lawan yang kelelahan mulai hilang fokus, demoralisasi, dan banyak membuat kesalahan. Hasilnya, tiga gol terjadi di partai perpanjangan waktu dan Indonesia meraih medali emas untuk cabang paling bergengsi yang telah 32 tahun dinantikan ini.
Demikian, Albert Camus, sastrawan Perancis kelahiran Aljazair pernah mengatakan, olah raga tempat terbaik untuk belajar moralitas. Saya diam diam mengamininya. (KC)
Load more