Jakarta, tvOnenews.com - Gunung Merapi sebagai gunung berapi teraktif di Indonesia akhir-akhir ini kembali menunjukkan peningkatan aktivitas.
Aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih berada pada tingkat “siaga” (Level III). sejumlah daerah bahkan terkena dampak berupa hujan abu vulkanik akibat dari luncuran awan panas tersebut.
Membicarakan Gunung Merapi sangat berkaitan dengan seseorang bernama Mbah Maridjan, seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta yang diberikan tugas untuk menjadi juru kunci Gunung Merapi.
Namun Mbah Maridjan menjadi salah satu korban dari kejadian besar erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010 lalu. Tak hanya Mbah Maridjan, banyak orang yang menjadi korban akibat bencana alam ini.
Potret Gunung Merapi. (Tim tvOne - Nuryanto)
Sebelum dirinya meninggal, Mbah Maridjan sempat mengungkapkan alasan bahwa ia tak bisa meninggalkan tempat tinggalnya saat erupsi Merapi.
Mbah Maridjan sempat mengungkapkan bahwa ia berharap dengan keputusannya membuat pemerintah menjadi salah paham.
“(Saya) menyampaikan ke pemerintah semoga pemerintah tidak salah faham. Kalau pemerintah salah faham. Saya dikira menghindari bapak Presiden,” ungkap Mbah Maridjan melalui sebuah video yang diunggah pada kanal YouTube Jogja Archive.
Mbah Maridjan mengatakan bahwa dirinya memiliki amanah sebuah tugas oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk merawat tempat khusus Spiritual dari Kraton Yogyakarta.
“Tapi saya ini punya tugas. Tugas dari Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun IX (Sri Sultan Hamengkubuwono IX), sampai saat ini saya harus merawat tempat-tempat khusus untuk kepentingan spiritual,” jelasnya.
“Malah kalau bisa yang tidak punya tugas ya harus mentaati aturan pemerintah. Ya harus mengungsi!” serunya.
Potret Mbah Maridjan. (Ist)
Berbeda dengan Mbah Maridjan, masyarakat yang tidak memiliki tugas pemberian oleh Kraton Yogyakarta, ia menyarankan untuk mematuhi aturan pemerintah.
“Karena mereka tidak punya kewajiban kepada Kraton maupun kesanggupan kepada pemerintah. Yang punya kewajiban ke pemerintah ya ikut aturan pemerintah yang punya kewajiban ke Kraton ya ikut aturan Kraton,” tutur Mbah Maridjan.
Dalam pernyataannya, Mbah Maridjan meyakini erupsi tidak akan merusak jika manusia berlaku bijak dan menjaga apa yang jadi pantangan Gunung Merapi. Justru manusia dapat membuat marah Gunung Merapi apabila merusak alamnya.
Almarhum Mbah Maridjan mengatakan pantangannya agar Gunung Merapi tidak marah, semestinya beckhoe-beckhoe tidak merusak daerah Yogyakarta.
“Terus kemudian pantangan agar Gunung Merapi tidak “marah”, itu seharusnya beckhoe-beckhoe jangan merusak daerah Jogja,” ungkapnya.
“Kalau daerah Klaten saya tidak tahu, Magelang juga tidak tahu. Kalau butuh pasir biarlah diberi pasir tapi jangan sampai jogja mengambil pasir pakai beckhoe,” lanjutnya.
Sambung Mbah Maridjan menuturkan kepada Bupati Sleman, Bupati Klaten, Bupati Magelang dan Bupati Boyolali untuk memikirkan tentang pesan yang disampaikannya tersebut.
Mbah Maridjan meyakini pengambilan pasir berlebihan dengan menggunakan backhoe akan mengundang awan panas pada saat erupsi.
“Bupati Sleman, Bupati Klaten, Bupati Magelang, dan Bupati Boyolali. Keempatnya ini harus bisa berfikir. Kalau tidak bisa memikirkan hal itu, maka akan diberi (pasir) tapi beserta awan panas. Itu pasti!” pesan Mbah Maridjan.
“Itu namanya merusak lingkungan, seumpama keempat bupati itu. Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang. Tidak mau mengusir beckhoe selamanya, maka akan diberi (pasir) beserta awan panas. Itu perintah Eyang Merapi!,” pungkasnya.
Hingga kini aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih berada pada tingkat “siaga” (Level III).
Setelah Mbah Maridjan meninggal, Mas Asih, putra Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Merapi pada 4 April 2011 di Kagungan Dalem Bangsal Kasatriyan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Mas Lurah Suraksosihono. (kmr)
Load more