Belajar dari China: Masjid Huaisheng, Menara Cahaya dari Pinggir Sungai Mutiara
- Bajo Winarno
Guangzhou, tvOnenews.com-Dari jarak 500 meter bangunan menara itu menyembul gagah. Tembok yang dilabur warna cat putih masih tampak terawat meski sudah melintasi ratusan tahun. Berada di antara deretan rumah rumah toko khas China yang membuka restoran, pusat kesehatan, hingga toko elektronik bangunan silindris setinggi 36 meter yang pernah menjadi pemandu para nelayan melintasi Sungai Mutiara itu tampak kontras dari lingkungan sekitarnya. Di masa lalu lampu yang terletak di bagian paling atas saat malam hari akan berkelap kelip seperti mengajak siapapun untuk singgah di Guangzhou, China.
Menara cahaya bagian dari masjid tertua di China: Masjid Huaisheng. Saat saya berkunjung, saya langsung disambut oleh kaligrafi aksara China sebelum masuk ke halamannya. “Cintai agamamu, cintai negerimu” begitu bunyi kaligrafi tersebut. Saya mengetahui makna kaligrafi itu dari wartawan Yangcheng Evening News Group yang dengan baik menjelaskan banyak hal yang menarik di sekitar bangunan bersejarah tersebut. Seketika saya teringat bagaimana kalimat serupa pernah mempesona banyak organisasi Islam di tanah Air. Sejak Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond, Persis, NU, Muhammadiyah tergerak karena “tuah” kalimat senada. Sejarah kolonialisme di negeri dunia ketiga yang memiliki penduduk Muslim terbesar seperti Indonesia, keislaman dan kebangsaan sesuatu yang jadi jalin menjalin melawan Barat yang dicitrakan “Kristen” dan “penjajah”.
Namun, kata ini tentu memiliki makna berbeda di sebuah negeri yang pernah mengalami revolusi kebudayaan. Namun saya tak sedang ingin mengetahui hal tersebut. Saya memilih menikmati capaian capaian arsitektural, tonggak tonggak kemajuan masa lalu yang masih bisa dinikmati hingga pertengahan abad 21 ini.
Saya lalu masuk lebih ke dalam. Terkuaklah halaman hijau yang dipenuhi dengan pohon pohon pinus berukuran besar, pohon pohon bunga yang terawat apik. Halaman ini dikelilingi selasar yang memiliki tiang tiang kayu tua berukuran pelukan dua orang dewasa.
Keterangan: Meski berusia 1300 tahun, menara masjid tetap gagah dan terawat, pernah digunakan sebagai mercusuar yang memandu nelayan di Sungai Mutiara Sumber: Bajo Winarno
Salah satu tiang kayu tampak dikerumunii lima orang. Seorang yang mengenakan helm proyek terus memukul mukul kayu sambal mendekatkan telinganya. Seorang lagi yang bertopi pet Nampak terus bicara dengan intonasi yang terus menerus meninggi. Di sekitar mereka, persis di depan tembok batu, lonjoran kayu kayu yang tampak sudah lapuk ditumpuk. Agaknya proses konservasi sedang berlangsung di masjid yang konon sudah dibangun oleh sahabat Nabi Muhammad SAW Sa’ad bin Abi Waqqas sejak tahun 627. Tepatnya pada masa Dinasti Tang sekitar tahun 618 – 907. Pada saat itu, agama Islam diperkenalkan di China untuk pertama kali.
Halaman masjid punya fungsi unik di China. Berbeda dengan di Indonesia yang muazin mengumandangkan azan di mihrab, di China muazin memanggil orang shalat dilakukan di halaman masjid.
Dari halaman saya melihat kemegahan ruang shalat Masjid Huaisheng yang memadukan arsitektur tradisional China dengan Timur Tengah. Saat masuk ke dalamnya, terlihat langit-langit ruang salat yang terbuat dari ubin dengan perpaduan warna biru dan hijau yang memberi kesan hangat. Beberapa anggota rombongan kami menunaikan shalat tahiyatul masjid, untuk menghormati kemegahan masjid.
Keterangan: Halaman Masjid Huaisheng yang tengah direnovasi. Sumber foto: Bajo Winarno
Di kawasan kota tua Guangzhou ini hubungan harmonis pedagang Timur Tengah dan warga China terekam lewat sejumlah masjid tua. Masjid Huaisheng hanya salah satu dari tiga masjid tertua di China. Ada pun tiga masjid tertua lainnya adalah Masjid Quanzhou Kylin, Masjid Yangzhou Crane, dan Masjid Hangzhou Phoenix.
Hubungan Guangzhou dan Islam telah terbangun selama lebih dari 1.300 tahun. Sebagai kota pelabuhan penting, di Asia sejak abad ke-5, Guangzhou menjadi gerbang utama masuknya Islam ke Cina melalui Jalur Sutra Maritim. Sejak masa Dinasti Tang (618–907 M), Guangzhou dikenal dengan nama Fanwu / Guang Prefecture, pelabuhan yang terbuka bagi pedagang Arab, Persia, dan Asia Selatan. Catatan Tiongkok seperti “Xin Tang Shu” (Buku Baru Dinasti Tang) menyebut orang-orang Dashi (Arab) tiba secara rutin untuk berdagang di pelabuhan ini.
Keterangan: Kaligrafi beraksara China terpajang di dinding dinding masjid. Sumber: Bajo Winarno
Meski secara akademis tak bisa diverifikasi, tradisi lokal Guangzhou menyebut bahwa Sa‘d ibn Abi Waqqas, paman Nabi Muhammad, datang pada abad ke-7 sebagai utusan Islam. Hingga kini masjid masih aktif digunakan oleh warga Muslim di Guangzhou. Saat ini, setiap hari Jumat, lebih dari seribu jamaah berkumpul di sini.
Banyak kegiatan rutin seperti Senior Muslims’ Gathering di Guangzhou dan Women’s Group dari “Hui People’s Home” di Guangzhou juga diadakan di masjid ini. Masjid juga menjadi tuan rumah acara-acara seperti Guangzhou Islamic Association dan Guangzhou Hui Historical Culture Research Seminar. (bwo)
.
Load more