Menakar Peluang Donald Trump Meraih Nobel Perdamaian Dunia, Layak atau Kontroversial?
- Ist
Jakarta, tvOnenews.com - Isu mengenai usulan agar Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendapatkan Nobel Perdamaian terus menjadi bahan perdebatan panas oleh berbagai kalangan di dunia.
Pasalnnya, rekam jejak Trump yang mencampurkan sejumlah capaian diplomatik dengan kebijakan kontroversial. Ide pemerian Nobel Perdamaian untuk Trump mencuat setelah Benjamin Netanyahu mengusulkan langsung kepada Komite Nobel.
Namun demikian, penilaian layak tidaknya Trump mendapat Nobel Perdamaian bergantung pada berbagai sudut pandang, serta sejauh mana publik menilai nilai kontribusinya terhadap perdamaian global.
Untuk memahami dinamika ini, berikut adalah telaah berbagai argumen yang mendukung maupun menolak wacana tersebut.
Argumen yang Mendukung Nobel untuk Trump
Kolonel Dedy Yulianto, pengamat geopolitik yang juga menjabat sebagai Analis Madya Bidang Humas di Biro Infohan Setjen Kementerian Pertahanan (Kemhan RI), menilai bahwa diusulkannya nama Donald Trump oleh para pendukungnya kerap didasarkan pada sejumlah capaian diplomatik penting selama masa kepemimpinannya.
Salah satu pencapaian utamanya adalah inisiatif Abraham Accords, yakni perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain pada tahun 2020, yang kemudian diikuti oleh Sudan dan Maroko. Kesepakatan ini dianggap sebagai langkah besar dalam meredakan ketegangan di Timur Tengah.
Meski demikian, Trump dan Jared Kushner (menantu sekaligus penasihat Trump), gagal meyakinkan negara-negara besar seperti Arab Saudi untuk turut bergabung dalam kesepakatan tersebut.
Argumen lainnya adalah bahwa selama masa kepemimpinan Trump, Amerika Serikat tidak memulai perang baru. Hal ini dinilai signifikan, mengingat sejarah panjang intervensi militer AS di berbagai belahan dunia.
“Namun dengan konflik antara Israel dan Iran sebetulnya menjadi sumir dan menjadi bayangan setan Trump akan capaiannya gencatan senjata Israel dan Iran tidak menjadi dasar perdamaian atau gencatan senjata di Gaza, konflik Israel dan Hamas, termasuk dengan Hauty di Yaman yang dapat memperpanjang konflik di Timur Tengah, karena pemasok utama senjata dan politik Netanyahu adalah Amerika menjadi penghalang Trump untuk meraih hadiah Nobel,” ujar Kolonel Dedy dalam keterangan tertulis, Senin (14/7/2025).
Trump juga tercatat pernah berperan sebagai mediator dalam sejumlah konflik lain, termasuk pertemuannya dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Ia juga disebut ikut menengahi konflik antara India dan Pakistan, yang membantu meredam potensi eskalasi lebih lanjut.
- Istimewa
Argumen Menentang Nobel untuk Trump
Sebaliknya, sejumlah pihak menolak keras gagasan Trump menerima Nobel Perdamaian. Kritik paling tajam diarahkan pada pendekatan kebijakan luar negeri yang dianggap unilateral dan tidak mendukung kerja sama internasional.
Kebijakan "America First" yang diusungnya menyebabkan AS menarik diri dari sejumlah kesepakatan penting, seperti Perjanjian Iklim Paris dan kesepakatan nuklir Iran (JCPOA), serta mundur dari beberapa badan PBB, termasuk Dewan Hak Asasi Manusia.
“Alih-alih memenuhi janji untuk menghapus embargo terhadap Iran, pada tanggal 8 Mei 2018, Presiden AS, Donald Trump, menarik AS keluar dari JCPOA. Langkah Trump dikritik berbagai pihak, termasuk oleh Direktur IAEA dan negara-negara Eropa. Tindakan ini dipandang sebagai pelemahan terhadap diplomasi multilateral yang menjadi fondasi perdamaian dunia,” sambung Kolonel Dedy.
Kebijakan tarif dan retorika dagang agresif Trump terhadap Tiongkok, Eropa, dan negara-negara Asia juga menimbulkan ketidakstabilan ekonomi global serta memicu ketegangan politik lintas kawasan.
Retorika politik Trump yang cenderung konfrontatif, baik di dalam negeri maupun terhadap pemimpin negara lain, dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai rekonsiliasi dan perdamaian yang dijunjung oleh Komite Nobel. Hal ini diperparah oleh pernyataan terakhirnya terhadap negara-negara anggota BRICS.
Pada 2024, Trump sempat mengancam tarif sebesar 100% sebelum pada 2025 belakangan ini mengusulkan tambahan 10% untuk negara-negara BRICS.
Ancaman tersebut muncul setelah forum BRICS pada 6 Juli 2025 mengecam kebijakan tarif AS dan mengusulkan reformasi terhadap Dana Moneter Internasional (IMF) serta sistem penilaian mata uang global.
Menteri Keuangan negara-negara BRICS bahkan menyebut bahwa kebijakan tarif Trump membawa "ketidakpastian dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan internasional" serta mengancam stabilitas ekonomi dunia.
Kritik juga datang terhadap kebijakan imigrasi Trump yang dinilai diskriminatif, seperti larangan masuk bagi warga dari negara mayoritas Muslim serta kebijakan pemisahan keluarga di perbatasan, yang menuai kecaman luas dari komunitas internasional.
Yang tak kalah kontroversial, pencalonannya untuk Nobel Perdamaian didorong oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang saat ini sedang menghadapi dakwaan kejahatan perang di Gaza. Netanyahu dianggap sebagai pendukung utama Trump, baik secara politik maupun militer.
Trump disebut sangat ingin mengumumkan kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas demi memperkuat citranya sebagai tokoh perdamaian dunia. Namun, kehadiran Netanyahu dalam jamuan makan malam di Gedung Putih justru mempersulit langkah Trump, karena keinginan Netanyahu untuk melanjutkan agresi ke wilayah Timur Tengah lainnya dinilai bertentangan dengan semangat perdamaian.
Sebelum pertemuan tersebut, Netanyahu bahkan membawa serta salinan surat nominasi Nobel untuk Trump.
“Sejarah peraih Nobel Perdamaian penuh dengan pemenang yang kontroversial. Keputusan akhir ada di tangan Komite Nobel Norwegia yang akan menimbang antara pencapaian konkret yang dapat diukur dan dampak keseluruhan dari kepemimpinan seorang tokoh di panggung dunia,” kata Dedy yang juga lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1998.
Peluang Trump
Kesimpulannya, menurut Dedy, ada beberapa cara untuk mewujudkan mimpi Trump mengamankan hadiah Nobelnya.
Pertama menegosiasikan kesepakatan diplomatik antara Israel dan Arab Saudi, sebuah perluasan dari Perjanjian Abraham yang gagal dicapai oleh pemerintahan Biden.
Kedua, Trump harus melakukan mediasi diplomatic dengan gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang sampai saat ini belum berhasil. Sedangkan mahkota kerajaan dan penguasa de facto, Mohammed bin Salman, yang merupakan pemimpin Arab favorit Trump, telah bersumpah untuk tidak menandatangani kesepakatan dengan Israel sampai negara itu berkomitmen untuk mendirikan negara Palestina.
“Dan salah satu hambatan terbesarnya ada di Netanyahu sendiri, Kongsi Amerika ini yang sesumbar bahwa ia menghabiskan sebagian besar karier politiknya untuk menghalangi rencana tersebut.
Kecuali tekanan dari negara-negara Eropa atau Nato secara massif untuk menekan Israel dengan Amerika sebagai teman mereka dengan keras bahwa Israel harus keluar dari Gaza atau Palestina,” telaah Kolonel Dedy.
Antara keinginan Trump mendapatkan Nobel Perdamaian dengan tindakan dan situasi geopolitik tidak hanya di kawasan Timur Tengah tapi mempengaruhi Geopolitik Dunia, menjadikan mimpi yang akan bangun di siang bolong.
Artinya, tanpa dilakukan kesepakatan keras oleh Amerika terhadap Israel untuk berdamai dengan Palestina, atau momen tersebut akan lari begitu saja disiang bolong.
Karena bila adanya perdamaian antara Israel dan Palestina itu sebagai kemenangan Dunia, bisa jadi itu juga kemenangan Trump sebagai satu-satunya Presiden Amerika yang konfrontatif tapi yang berkeprimanusiaan. (rpi)
Load more