Kuwait, tvOnenews.com - Bulan Ramadhan selalu memiliki banyak sisi spiritual dan sosial, dimana masyarakat tidak hanya meninggkatkan ibadah, namun juga larut dengan berbagai tradisi khas di lingkungannya.
Seperti yang terlihat pada masyarakat di Kuwait, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Kuwait memiliki banyak budaya Ramadhan yang unik, mulai dari Gresh sebelum Ramadhan, Gergean di pertengahan bulan, Ghabgah sebagai perjamuan malam, hingga pertemuan di Diwaniya.
“Jika dibandingkan dengan Indonesia, Gresh memiliki kemiripan dengan tradisi Munggahan, di mana masyarakat Indonesia juga berkumpul untuk makan bersama dan saling memaafkan sebelum memasuki Ramadan.” kata Lena Maryana, Duta Besar Indonesia untuk Kuwait, yang membagikan pengalaman Ramadhannya kepada tvOnenews.com, Minggu (16/3/2025).
“Tujuannya sama, yaitu mempererat hubungan sebelum memulai bulan ibadah yang penuh berkah.” lanjutnya.
Makanan yang disajikan dalam Gresh bervariasi, mulai dari nasi majboos, hingga berbagai jenis roti seperti khubz dan regag (seperti crepe kering khas Kuwait). Tidak hanya itu, acara ini juga menjadi momen bagi keluarga untuk berbagi harapan dan doa untuk Ramadan yang akan datang.
Tradisi Gergean
Di pertengahan Ramadan, Kuwait merayakan Gergean, tradisi yang sangat dinantikan oleh anak-anak.
“Selama malam ke-13, 14, dan 15 Ramadan, anak-anak mengenakan pakaian tradisional yang berwarna-warni dan pergi berkeliling lingkungan tempat tinggal mereka sambil menyanyikan lagu-lagu khas Gergean.” Ungkap Duta Besar Lena Maryana.
Foto: Anak-anak saat menerima bingkisan Ramadhan dari Duta Besar Indonesia untuk Kuwait, Lena Maryana. (Istimewa)
Sebagai balasannya, mereka akan menerima permen, kacang, dan hadiah kecil dari tetangga dan keluarga. Tradisi ini mirip dengan “Trick or Treat” dalam perayaan Halloween, tetapi dengan nuansa Islami yang lebih kental.
Tradisi Ghabgah
Tradisi lainnya khas Kuwait selama Ramadan adalah Ghabgah, yaitu perjamuan makan yang diadakan setelah shalat Tarawih, biasanya antara pukul 10 malam hingga dini hari.
Berbeda dengan iftar (buka puasa) yang bersifat lebih formal, Ghabgah lebih santai dan menjadi ajang silaturahmi antar teman dan keluarga.
“Makanan yang disajikan pun bervariasi, mulai dari samboosa (samosa), harees (bubur gandum), hingga kunafa dan luqaimat (kue bola-bola manis khas Timur Tengah).” Jelas Lena.
Ghabgah sering kali berlangsung hingga larut malam, dengan percakapan ringan yang mempererat hubungan sosial.
Acara ini juga menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk mengundang tamu dari berbagai latar belakang, termasuk diplomat dan ekspatriat, guna memperkenalkan budaya Kuwait secara lebih dekat.
Tradisi Diwaniya
Diwaniya bukan sekadar tempat berkumpul, tetapi juga ruang di mana berbagai diskusi penting berlangsung—mulai dari urusan politik, ekonomi, hingga nilai-nilai kehidupan.
Selama Ramadhan, Diwaniya menjadi semakin ramai karena masyarakat berkumpul setelah shalat Tarawih untuk berbincang dan berbagi cerita.
“Dari semua tradisi Ramadan di Kuwait, momen yang paling membekas bagi saya adalah ketika mengunjungi Diwaniya.” Ungkap Duta Besar Lena Maryana.
“Saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi lebih dari 126 Diwaniya dalam 20 hari Ramadan pada tahun 2022, tahun pertama saya bertugas di Kuwait. Tahun itu juga menjadi tahun pertama Kuwait kembali membuka Diwaniya setelah pandemi COVID-19, menjadikannya momen yang sangat berharga.” Lanjutnya.
Foto: Tradisi Diwaniya saat Ramadhan di Kuwait. (Istimewa)
Diwaniya menurut Lena memberikan pengalaman dan banyak pelajaran berharga, diantaranya dapat menyaksikan langsung keramahan masyarakat Kuwait, yang dengan tangan terbuka menyambut para tamu dan berbagi kisah serta pengalaman mereka.
“Sebagai seorang Kepala Perwakilan perempuan, saya mendapatkan privilege khusus untuk menghadiri berbagai Diwaniya, yang secara tradisional diperuntukkan bagi pria. Hal ini mencerminkan keterbukaan dan penghormatan masyarakat Kuwait terhadap hubungan diplomatik dan dialog lintas budaya.” Kata Duta Besa Lena Maryana.
“Saya melihat bagaimana Diwaniya menjadi ruang diskusi yang terbuka, di mana siapa pun bisa menyampaikan pendapat dan berkontribusi dalam percakapan.” Sambungnya.
Diwaniya selama Ramadan biasanya dibuka setelah shalat Tarawih dan berlangsung hingga tengah malam. Di sini, para tamu menikmati teh khas Kuwait (chay), kopi Arab (gahwa), serta aneka kurma dan manisan Ramadan (halawiyat ramadaniyah).
Percakapan yang berlangsung lebih banyak membahas topik keagamaan, isu-isu terkini, dan berbagai permasalahan sosial.
“Pengalaman mengunjungi Diwaniya membuat saya semakin memahami betapa kuatnya nilai kebersamaan dalam budaya Kuwait. Diwaniya bukan hanya sebuah tradisi, tetapi juga sebuah institusi sosial yang mempererat hubungan masyarakat dan bahkan membuka pintu bagi hubungan diplomatik.” Tutup Lena. (buz)
Load more