“Tetapi selama perang ini, saudara perempuan saya, yang sudah menikah dan tinggal di daerah berbeda, memutuskan untuk pindah ke rumah saya karena mereka pikir itu adalah salah satu daerah teraman dan mereka mungkin bisa selamat dari perang di sana.”
Namun kenyataannya di Jalur Gaza, tidak ada satu pun bangunan yang aman dari serangan Israel.
“Saat itu pukul 4 atau 5 pagi ketika mereka menjadi sasaran. Dan saya sedang tidur saat itu, tapi tiba-tiba saya terbangun, panik entah kenapa dalam tidur saya,” ujarnya.
“Saya bangun dan menyalakan telepon dan mendengar kabar tersebut dari seorang teman yang tinggal di sana. Dia memberi tahu saya bahwa rumah saya dibom dan keluarga saya terbunuh.”
Dua saudara perempuannya yang lain tidak ada di rumah pada hari serangan itu terjadi, namun dia kehilangan kontak dengan salah satu dari mereka karena pemadaman listrik dan komunikasi.
Apa yang dialami Alnaouq, 29 tahun, adalah sesuatu yang dia –-seperti manusia lainnya-– “tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.”
“Perasaannya tidak seperti yang lain. Hatiku hancur. Itu sangat, sangat, sangat sulit, dan sangat sulit untuk menggambarkannya saat ini.”
Namun Alnaouq, yang sebelumnya juga kehilangan dua anggota keluarganya akibat kekerasan Israel, tahu betul bahwa dia tidak sendirian merasakan kepedihan ini.
“Keluarga saya hanyalah satu dari 900 keluarga yang menjadi sasaran dan dibunuh. Semuanya terbunuh,” katanya.
Load more