Pada tahun 2016, nilai manfaat Rp25,40 juta (42 persen) dibanding Bipih Rp34,60 juta (58 persen) sebesar Rp60 juta. Pada tahun 2017, nilai manfaat Rp26,90 juta (44 persen) dibanding Bipih Rp34,89 juta (56 persen) sebesar Rp61,79 juta.
Tahun 2018, nilai manfaat Rp33,72 juta (49 persen) dibanding Bipih 35,24 juta (51 persen) sebanyak Rp68,96 juta. Tahun 2019, nilai manfaat Rp33,92 juta (49 juta) dibanding Bipih Rp35,24 juta (51 persen) sebesar Rp69,16 juta.
Selanjutnya, tahun 2022, nilai manfaat Rp57,91 juta (59 persen) dibanding Bipih Rp39,89 juta (41 persen) sebesar Rp97,79 juta dan tahun 2023, nilai manfaat Rp29,70 juta (30 persen) dibanding Bipih Rp69,19 juta (70 persen) sebesar Rp98,89 juta, yang kini sebagai usulan.
Dari data tersebut, lanjut Hilman, pada tahun 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jamaah hanya Rp4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar jamaah sebesar Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13 persen, sementara Bipih 87 persen.
Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19 persen (2011 dan 2012), 25 persen (2013), 32 persen (2014), 39 persen (2015), 42 persen (2016), 44 persen (2017), 49 persen (2018 dan 2019). Karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022 (jamaah sudah melakukan pelunasan), penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59 persen.
"Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak," ujar dia.
Nilai manfaat, lanjut Hilman, bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jamaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat.
Load more