Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf mulai “tumbang”. Hal itu didasari karena persidangan yang terus bergulir hingga sekarang.
Pengungkapan itu bermula saat penasihat hukum terdakwa Ferdy Sambo mengajukan pemeriksaan saksi ahli meringankan pada pekan depan.
Ketua Majelis Hakim PN Jaksel Wahyu Iman Santoso mengatakan persidangan akan kembali digelar, Selasa (27/12/2022) pekan depan.
"Saudara penuntut umum, kita tunda Selasa yang akan datang mendengarkan ahli yang didatangkan penasihat hukum terdakwa dan saksi meringankan," kata Wahyu.
Menanggapi keputusan itu, JPU mengusulkan agar persidangan digelar pada tahun depan, 2023.
Sebab, jaksa beralasan pihaknya mulai kelelahan karena persidangan yang terus bergulir setiap pekan.
"Izin Bapak, jika diperkenankan ini kita sudah maraton, kami pun satu-satu tumbang-tumbang juga pak tiap hari, tiap minggu disuntik-suntik vitamin gara-gara ini, kalau diperkenankan ditunda Januari tanggal 2 tanggal 1," minta jaksa.
Meski demikian, Hakim Wahyu menolak permintaan tersebut karena beralasan sidang tetap harus digelar secara cepat.
Oleh karena itu, Wahyu meminta baik JPU dan penasehat hukum terdakwa agar mempersiapkan diri dengan baik.
"Terima kasih atas usulan jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, majelis berpendapat bahwa sidang ini kembali pada asasnya peradilan cepat, sederhana dan murah, jadwal tetap Selasa," tegas Wahyu.
Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi saat Jalani Sidang di PN Jaksel (tim tvOnenews)
Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi Bawa Saksi Meringankan
Saksi meringankan yang dibawa oleh tim Ferdy Sambo ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) adalah ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali.
Mahrus mengungkapkan bahwa motif pembunuhan berencana harus dibuktikan meskipun itu soal dugaan pelecehan seksual.
"Izin Yang Mulia. Kalau kita lihat bukunya Prof Zainal Arifin, 'Hukum Pidana', beliau menjelaskan kalau motif itu menjadi penting dibuktikan. Sebab, menyangkut keputusan atau kehendak seseorang ketika memutuskan sesuatu," kata Mahrus di PN Jaksel, Kamis (22/12/2022).
Dia lantas menyinggung soal dugaan kekerasan seksual yang menimpa Putri Candrawathi.
Menurutnya, jaksa penuntut umum (JPU) seharusnya bisa menghadirkan bukti terkait kekerasan seksual tersebut.
"Kasus-kasus kekerasan seksual dalam perspektif (victimology) itu sering kali terjadi di ruang-ruang privat sehingga apa pasti harus miliki bukti. Satu-satunya bukti yang biasa dihadirkan oleh jaksa biasanya visum, tetapi kalau visum nggak ada gimana?," tambahnya.
Menurut Mahrus, visum terhadap korban kekerasan seksual bukan hanya menjadi bukti atau menghilangkan tidak ada kejahatan.
Sebab, dia menerangkan kebanyakan korban kekerasan seksual tidak melakukan visum karena butuh keberanian untuk melapor.
"Jangan disimpulkan kalau korban tidak melakukan visum tidak terjadi kejahatan. Kenapa? Karena gini, dalam perspektif victimology, korban kekerasan seksual itu tidak semuanya punya keberanian untuk melapor," jelasnya.
Ferdy Sambo saat Jalani Sidang PN Jaksel (tim tvOnenews)
Ferdy Sambo Mengaku Terlalu Pede Soal Rekaman CCTV
Pengakuan tersebut terlontar ketika Ferdy Sambo menjadi saksi mahkota terdakwa Chuck Putranto dalam perkara obstruction of justice atau perintangan penyidikan kematian Brigadir J.
Menurut Sambo, dirinya tidak bermaksud untuk memberi perintah mengamankan DVR CCTV pada tanggal 8 dan 9 Juli 2022.
"(Tanggal 8 dan 9 Juli) belum ada maksud untuk mengamankan karena saya pikir itu tidak menyorot korban (Yosua) pada saat itu," kata Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kamis (22/12/2022).
Sambo menjelaskan bahwa itu menjadi alasannya untuk memerintahkan anak buahnya mengecek CCTV tersebut.
Namun, setelah CCTV Duren Tiga menunjukkan adanya Yosua, Sambo mengaku baru memerintahkan mengamankan.
"Saya natural saja memerintahkan mereka untuk mengecek, saya terlalu PD bahwa CCTV itu tidak menyorot korban ketika saya masuk," jelasnya.
Selain itu, Sambo menekankan dirinya memberi perintah kepada bawahannya untuk mengecek CCTV sekitar tempat kejadian perkara (TKP) Duren Tiga.
Dia beralasan ingin mengetahui isi CCTV itu sebelum diserahkan ke penyidik Polres Metro Jakarta Selatan.
"Perintah saya waktu itu cek dan amankan," tegasnya.
Ferdy Sambo saat Jalani Sidang PN Jaksel (tim tvOnenews)
Polisi Menyangkakan Ferdy Sambo dengan Pasal 340 KUHP
Dalam persidangan, ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali menyebut pasal yang disangkakan pada Ferdy Sambo bisa dipertanyakan.
Menurutnya, ada hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang dapat disangkakan dengan pasal pembunuhan berencana.
Salah satunya, kata Mahrus, pelaku bisa dituduhkan dengan pasal pembunuhan berencana ketika ia melakukan eksekusi dengan tenang.
"Yang penting, bukan waktu yang lama atau sebentar, melainkan situasi tenang," ungkap Mahrus di PN Jaksel, Kamis (22/12/2022).
Menurutnya pembunuhan berencana tidak mementingkan soal berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan pembunuhan, melainkan seberapa tenang pelaku melangsungkan rencananya.
“Karena bisa jadi rangkaian waktunya lama, tapi kondisinya emosi. Itu bukan 340," jelasnya.
Maka dari itu penetapan seseorang dengan Pasal 340 memerlukan pendalaman oleh ahli psikologis.
Dengan demikian, penetapan Ferdy Sambo dengan pasal pembunuhan berencana memerlukan keterangan ahli.
"Harus ada ahli juga kalau dia mengatakan tidak tenang, apa buktinya? Pasti ada tes psikologinya,” katanya. (lpk/put)
Load more