Penetapan Tersangka Korupsi Tom Lembong Tuai Sorotan Tajam, Pakar Hukum Pidana Beberkan Kejanggalan Ini
- istimewa - Antara
Jakarta, tvOnenews.com - Kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong disebut sejumlah pakar hukum pidana terdapat kesalahan dalam penetapan tersangka.
Hal tersebut tertuang dalam diskusi di Universitas Sjakhyakirti Palembang 'Kebijakan Publik dalam Bayang-Bayang Tindak Pidana Korupsi'.
Sejumlah pakar hukum pidana menuturkan keprihatin dengan banyaknya kebijakan yang langsung ditarik menjadi tindak pidana korupsi tanpa melakukan review pada saat kebijakan itu diambil.
Salah satu studi kasus yang ditanyakan oleh mahasiswa pascasarjana adalah soal kebijakan importasi gula yang menyeret Tom Lembong.
Menurut penyidik Kejaksaan Agung, Tom Lembong telah merilis kebijakan gula pada era 2015 – 2016. Pada saat itu terjadi surplus gula, tapi Tom mengeluarkan izin importasi raw sugar yang diduga menguntungkan swasta.
Importasi, menurut Kejaksaan Agung mestinya dalam bentuk gula kristal putih dan dilakukan oleh BUMN. Penyidik mensinyalir terjadi kerugian negara Rp578 milyar.
Selain Tom Lembong, Kejaksaan juga telah menetapkan tersangka dari perusahaan gula swasta dan mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI).
Direktur Pasca Sarjana Universitas Sjakhyakirti, Palembang Prof Edwar Juliartha mengatakan kebijakan publik itu harus dinilai pada saat kebijakan itu dilaksanakan.
Sebab, dia menuturkan setiap kebijakan itu ada konteksnya.
“Kebijakan itu tidak bisa direview setelah bertahun-tahun lamanya. Lihat dulu historinya, apakah pernah dilaksanakan pemeriksaan atau belum. Jika sudah hasilnya bagaimana? Ada penyimpangan atau tidak. Tugas pejabat publik itu adalah problem solving. Tidak bisa dikurun waktu yang jauh berbeda,” jelas Edwar dilansir Minggu (26/1/2025).
Sementara itu, Junaedi Saibih, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berpendapat dalam kasus importasi gula mestinya dilakukan pemeriksaan aparatur pengawas internal pemerintah dulu sebelum ditarik ke pidana korupsi.
“Saya lihat dalam kebijakan itu ada aspek perdatanya. Ada perjanjian antara BUMN dengan perusahaan swasta. Kalau tidak ada konflik dalam aspek perdata, lalu masyarakat juga diuntungkan karena bisa memperoleh gula, maka aneh jika ditarik ke pidana. Terlalu dipaksakan,” jelas Junaedi.
Load more