Prof Romli menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan Maming tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.
"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," tegas Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK tersebut.
Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) sekaligus aktivis HAM dan antikorupsi Todung Mulya Lubis juga mendesak agar mantan Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015 dan 2016-2018 Mardani H Maming dibebaskan.
Todung Mulya Lubis menyoroti terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice) dalam penanganan kasus korupsi yang menyeret Mardani H Maming ke jeruji besi.
Menurutnya, vonis yang dijatuhkan kepada Mardani H Maming tidak memiliki alat bukti memadai dan terkesan dipaksakan.
"Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya," kata Todung Jumat, 25 Oktober 2024.
Dia juga berpendapat bahwa tidak ada unsur keadilan dalam penjatuhan vonis terhadap terpidana. “Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti," ujarnya.
Todung juga menjelaskan bahwa hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Load more